Catatan Mang Kemon

Noktah Ke-pesantren-an di Tasikmalaya (Edisi Hari Santri)

273
×

Noktah Ke-pesantren-an di Tasikmalaya (Edisi Hari Santri)

Sebarkan artikel ini
Noktah Ke-pesantren-an di Tasikmalaya (Edisi Hari Santri)

mang kemonIstilah pesantren dan santri tak bisa dilepaskan dari Tasikmalaya meskipun ada Kotamadya dan Kabupaten. Berbanggalah kita, meskipun ada keraguan, apakah sebagian besar warganya masih Nyantri,” atau malah sebaliknya.

Saya ingin memandang dari sudut lain, tentang Pondok Pesantren di Tasikmalaya yang khas. Iya, disini, pesantren yang ada sangat mempesona. Banyaknya variasi antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lainnya menjadi keunikan tersendiri. Setiap pesantren memiliki karakteristik dan budaya tersendiri, beragam dan khas. Meskipun dalam berbagai aspek dapat pula ditemukan kesamaannya. Jadi kalau boleh saya katakan, beda tapi sama, keduanya sama-sama unik.

Kawan, ternyata kedudukan pendidikan pesantren tak dapat dipisahkan dari kehidupan umat islam Indonesia. Lembaga pendidikan tertua ini sudah dikenal semenjak Islam masuk Indonesia, seperti pada kurun waktu kerajaan-kerajaan islam, kemudian di jaman wali songo sampai permulaan abad ke-21, banyak para ulama dan para wali ini menjadi perintis pendidikan islam dengan sistem pesantren. Dari sinilah awal lahirnya tatanan masyarakat yang memiliki nilai-nilai religius. Dalam masa perjuangan kemerdekaan pun pondok pesantren selalu berada digaris depan, itulah pondok pesantren.

Sebelumnya beribu maaf saya sampaikan kepada para ‘alim, para ahli sejarah pesantren, para ajengan dan para kiai. Saya menyampaikan tentang khasanah pesantren Tasikmalaya ini bukan karena tahu, tapi lebih karena sangat bangga dan ingin diceritakan. Seperti anak kecil yang senang bercerita akan perkara yang dia banggakan. Jadi, mohon dikoreksi apabila ada kesalahan dalam hal pencantuman nama, sejarah, dan sebagainya.

Tentang kekhasan pesantren dan kaderisasi tadi. Setahu saya, di Jawa Barat, jalur keilmuan pesantren, tradisi ini begitu kuat mengakar. Sebuah pola kaderisasi yang sangat luar biasa! Misalnya, pesantren Cipasung, sesepuhnya Kiai haji (KH) Moh. Ilyas Ruhiat (Rahimahullah), belajar kepada ayahnya K.H. Ruhiat (Rohimahulloh), sang pendiri pesantren. Ajengan Ruhiat belajar dari KH Sobandi Cilenga (Rohimahulloh), dan ajengan Cilenga ini belajar dari KH Syuja’i (Rohimahulloh) atau lebih dikenal sebagai ’Mama Kudang,’ Mama Kudang pernah mengaji di Pesantren Ciwendus Limbang Kuningan kepada Kiai Sobari (Rahimahullah).

Kekhasan pesantren juga terlihat dari disiplin keilmuan yang sangat beragam namun fokus. Misalnya Kiai Nahrowi (Rahimahullah) ahli bahasa arab, Kiai Moh.Ilyas (Rahimahullah) ahli fikih dan Kiai Syuja’i (Rahimahullah) ahli tafsir hadist. Ada juga ulama-ulama besar di Tasikmalaya yang memiliki kekhasan dan lekat dengan nama tempat, seperti Suryalaya pada ilmu toreqat, Bantar Gedang pada ilmu alat dan Awipari pada ilmu Al Qur’an dan seni bacanya.

Jika dirunut akar pesantren tradisi di Jawa Barat ini, cukup banyak versi. Setahu saya, para ulama yang ikhlas ini tak pernah sia-sia mengorbankan usianya yang sebentar karena pahalanya yang mengalir selama-lamanya. Karyanya lebih lama daripada usianya. Kawan, bagi sebagian besar pendapat, ada yang mengatakan jalur keilmuan pesantren di Jawa Barat khususnya Tasikmalamaya ini dari Syekh Abdul muhyi pamijahan.

Pengaruh Syaikh Abdul Muhyi ini memang sangat besar bagi terciptanya lingkungan kesantrian di priangan. Nama besar ulama ini terkenal bukan hanya di kalangan bangsa kita tetapi juga sampai Asia Tenggara. Buktinya sampai sekarang masih terasa, Gua Safarwadi dan pamijahannya menjadi tempat yang tak pernah sepi untuk diziarahi. Ditempat itulah petilasan Syekh Abdul Muhyi.

Oh ya, Syekh Abdul Muhyi juga terkenal sebagai ahli lobi yang hebat atau bahasa sekarangnya diplomat. Kecerdasan inter personal dan intrapersonal cemerlang. Dia membuktikan dengan membangun relasi antara Abdul muhyi dan Pemerintahan wiradadaha III (dalem sawidak) pemerintahan Tasikmalaya saat itu, adalah pola ideal hubungan ulama umara dalam sejarah sukapura pada 1674-1723. Terbayang oleh saya, kehebatan diplomasi seorang ulama yang mampu membangun kemitraan yang sejajar dengan umaro.

Dan sekarang, pola hubungan yang ideal antara ’Ulama-Umara’ itu sepertinya kurang terlihat jelas. Saya melihat pesantren, ulama dan santri hanya menjadi komoditas politik. Pernah melihat, umaro tega membiarkan kaum bersarung yang alim itu menenteng proposal hilir mudik dari meja-kemeja di kantor pemerintahan daerah untuk meminta stempel dan sedikit donasi untuk acara keagamaan dan pembangunan pesantren yang sudah lapuk. Bagaimanapun juga, ulama memang perlu dana untuk membangun moral ummat ini. Sangat menyedihkan.

Masyarakat ditempat lain terutama di perkampungan-perkampungan yang jauh dari demoralisasi Kota, ternyata lebih mendengar ajengan, ustadz dan Kiai dari pada kepala desa, camat, bupati, gubernur atau bahkan presidennya sekalipun. Orang berilmu itu memang penuh makna kata-katanya, bisa menyentuh hati karena dikeluarkan dengan ilmu yang ikhlas dan barokah. Untuk urusan remeh temeh saja, pencoblosan pemilu misalnya, warga akan berdatangan kepada ulama meminta pentunjuk calon mana yang layak dipilih. Makanya jangan heran kalau golongan politikus sering mengincar keluguan dan ketulusan mereka.

Di Tasikmalaya sendiri ada banyak ulama besar dengan pondok pesantrennya yang dikenal tingkat nasional dan bahkan internasional. Nama mereka tetap harum meski sudah meninggalkan dunia, misalnya saja para ulama yang mewarnai kehidupan ummat pada abad ini, almarhum KH.Khoer Afandi di pesantren Miftahul Huda Manonjaya, ada almarhum KH.Ilyas Ruhyat di Cipasung, ada almarhum KH.Shohibulwafa Tajul Arifin atau Abah Anom di Suryalaya, ada juga ulama kharismatik sesepuh para Kiai yang terkenal dengan sebutan Mama Kudang, ada juga yang ulama thawadhu nan faqih ilmu semisal Mama Oot.

Dan sesungguhnya ada banyak sekali ulama besar di berbagai tempat di Tasikmalaya ini, seperti di Cikatomas, Awipari, Cibeureum, Kawalu, Mangkubumi, Paseh, Cikalong, cipatujah, Pamijahan, Cibodas, Pagendingan, Cidahu, dan banyaklagi. Masing-masing ini juga punya karakteristik yang unik, fokus ilmu yang berbeda dan tentunya saling melengkapi menambah kayanya khasanah islam.

Hingga hari ini, bukan hanya di Tasikmalaya saja, ulama dengan pondok pesantrennya tetap eksis menjadi pusat kontrol masyarakat, pusat belajar masyarakat dan bahkan pusat budaya. Lembaga pendidikan ini tak terpengaruh oleh demoralisasi zaman. Dia tetap berwibawa. Ianya tetap hadir dihati masyarakat sejak jaman dulu sekali, sebelum pergerakan kebangkitan nasional, perang kemerdekaan, revolusi dan hingga reformasi sekarang ini. Pesantren tetap menjadi soko guru bangsa.

Hari santri yang kemarin diperingati, semoga menjadi membuka mata, telinga dan hati kita. Bahwa bangsa ini, didirikan oleh air mata dan darah para ulama dan santri. Negara ini merdeka dan dipertahankan kemerdekaannya karena doa-doa mereka.

……

Hari ini penetapan nomor urut pasangan calon wali kota dan wakilnya.

Beberapa jam menjelang penetapan calon wali kota dan wakil Wali kota Tasikmalaya, Selasa (25/10/2016), harapan akan jayanya kota santri ini kembali muncul. Meskipun harapan itu tinggal sedikit. Bukan tidak percaya pada kemampuan para kandidat, namun lebih takut akan demoralisasi jaman. Ya, tergerus dengan wabah peradaban global yang tak selalu membawa kebaikan.

Rinduku untuk Tasikmalaya

Atas nama kota santri katanya
Atas nama lantunan sya’ir dan cerita-cerita penuh syi’ar
Atas nama kehidupan masyarakat bersama syari’at

Oh, Tasikmalaya
Masihkah kudengar orang tua melantunkan shalawat dan al barzanzi untuk anaknya
Juga nadzam-nazdzam tajwid dan asmaul husna tiap pagi dan dan sore hari
Masihkah akan kulihat bocah-bocah berpeci sambil lari-lari tiap pagi
Masih adakah anak muda berbondong-bondong mengaji menenteng kitab suci
Masihkah kudengar riuh anak-anak mengeja kitab suci, menghafal juz’amma dan akoidul iman
Masihkah kulihat santri-santri bersarung dan berjilbab rapi tiap sore hari
Masihkah kudengar riuhnya muda-mudi melantunkan tasrifan dan tarkiban, menghafal
jurmia’ah, imriti, dan alfiah
Masihkah kudengar diskusi-diskusi di mesjid, talaqqi kitab suci dan sorogan-sorogan
kitab kuning,
Juga halqah-halqah penuh cinta, bahtsul masa’il dan musyawarah di madrasah
Ataukah kini kulihat kerlap kerlip lampu kota menghiasimu
Mall, cafe, warung remang dan tempat karaoke selalu sesak
Hedonisme anak-anakmu-kah setiap malam itu?
Dan dirumah-rumah perkampungan, setiap magrib hanya terdengar suara televisi

Oh, Bumi Sukapura
Diluar sana mengira engkau masih bersih, belum terkontaminasi virus demoralisasi
Bukankah itu wajah yang diperlihatkan pemimpin dalam visi misinya yang religius islami

Jujur saja, kini aku sangat rindu suasana lama di Kota santri
Rindu dengan idealisme generasi Robbani
Izzah mereka yang menampakkan jati diri
Bukan yang seperti kulihat ini
Rinduku sangat untuk Kota Santri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *