Kolom

Jika Kepanjangan CSR Jadi Community Santri Responsibility

359
×

Jika Kepanjangan CSR Jadi Community Santri Responsibility

Sebarkan artikel ini

Mang KemonSiapa yang tidak tahu corporate social responsibility (CSR) alias tanggung jawab sosial perusahaan. Konsep yang diklaim briliant, pembuktian budaya gotong royong serta pengamalan pancasila nomor 2, 3 dan 5.

Jangan ragukan lagi aturan negara dalam hal ini, mulai dari pusat hingga level RT, banyak yang memayungi program CSR ini. Semunya bertujuan sangat mulia, yakni membangun kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, sejahtera lahir dan batin dengan melibatkan para pengusaha, serta mewujudkan perikehidupan yang adil dan beradab dan keadilan sosial.

Lantas, apa yang mau dikorek lagi dari program CSR ini? Bukankah sudah lengkap semua? Mohon maaf, kiranya perlu kita semua mempertanyakan pengaruh dari program CSR yang sudah berpuluh tahun ada di republik ini. Setidaknya mengevaluasi dampak. Bukankah evaluasi, muhassabah, adalah bagian penting dari agama ini.

Apakah ada dampaknya dengan kondisi bangsa yang mengalami pendemi selama 4 bulan terakhir ini? Jika program itu bagus, idealnya harus ada dampak bagi peradaban. Karena sudah berdekade-dekade program CSR dengan beragam jenisnya ini berjalan. Seharusnya bisa mengubah peradaban, atau setidaknya mental masyarakat.

Jangan bandingkan program CSR ini sama dengan revolusi mental. Walaupun ujung-ujungnya memang memiliki arah yang sama, yaitu menyiapkan mental masyarakat yang produktif. CSR ini memiliki payung hukum, telah lama dan mengakar serta tentu saja tidak sporadis.

Soal urusan berhasil atau tidak CSR ini silahkan dijawab dalam hati masing-masing. Apakah ada perubahan yang besar dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari? Atau setidaknya apakah ada perubahan bagi si penerima CSR.

Saya tertarik dengan istilah Community Santri Responsibility. Singkatannya sama, CSR juga. Santri ini unik karena bagi saya, melihat santri ini bisa melihat dunia nyata terasa dekat. Jika membangun bangsa adalah membangun generasi, maka membahas santri jelas akan sangat berkaitan dengan bangsa dimasa depan.

Hari santri nasional akan diperingati 4 bulan lagi. Negara pun secara de facto dan de jure sudah mengakui bahwa santri ini sangat penting keberadaannya. Para pemimpin kita hari ini, mereka yang ada di eksekutif, legislatif dan yudikatif banyak yang terlahir dari santri.

Bagi saya pribadi, mental dan karakter santri kiranya lebih siap menghadapi berbagai situasi terburuk. Misalnya saat menghadapi pendemi Covid-19 ini. Jika pendemi ini ibarat ujian nasional, maka saya menilai secara subjektif, karakter santri sudah lulus dengan nilai sangat memuaskan.

Di pesantren, ada pembangunan karakter yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Karakter agama dan akhlak holistis menjadi pondasi dari pola pendidikan pesantren. Kedua hal ini menjadi makanan sehari-hari kaum santri, sehari 24 jam dan seminggu tujuh hari. Full tanpa libur.

Berikutnya yang tidak kalah hebat adalah karakter keluarga dan kokohnya membangun jaringan. Mereka yang pernah hidup di pesantren sebagai santri akan memiliki ikatan persaudaraan yang tinggi, dekat secara hati dengan guru-guru dan lingkungan.

Santri ditempa dengan soft skill, life skill, agama dan akhlak, kreativitas dan problem solving. Ini sangat real dan tidak perlu pembuktian ilmiah. Silahkan lihat keseharian santri dan lihatlah lulusannya.

Jika tadi saya katakan bahwa pendemi Covid-19 coba dijadikan alat menguji keampuhan life skill dan problem solving, saya berani mengunggulkan, lulusan santri akan lebih unggul menghadapi situasi terburuk. Atau setidaknya, mereka masih memiliki keimanan dan harapan dari Tuhannya.

Aih, Pengubahan CSR jadi santri ini bukan berarti harus menyalurkannya bantuan seperti sembaki sekarang juga. Bukan itu. Saya tidak bermaksud meminta proposal dan kemudian berharap turun bantuan langsung. Bukan.

Malahan, saya hanya ingin mempertanyakan dampak dari program yang sudah sekian lama berjalan seperti CSR itu. Jadi yang dibahas adalah jangka panjang. CSR yang sudah membangun komunitas selama puluhan tahun, seharusnya berdampak ditengah masa Corona yang hanya 4 bulan saja.

Disisi lain, saya mau menunjukan fakta dari beberapa teman santri, yang belakangan ini saya cek kondisinya disaat menghadapi covid-19. Semua teman santri yang saya kontak, atau saya temui, mereka baik-baik saja. Padahal mereka tidak memiliki gaji yang tetap macam pegawai negeri misalnya.

Seperti Mang Usep, orang Cihaurbeuti Ciamis. Selama tiga bulan terakhir dia malah sibuk menggarap lahan yang selama ini tidak terurus.

“Lahan pesantren aja, nggak ;luas. Mumpung pengajian libur selama corona,” katanya saat saya temui pekan kemarin.

Dia sedang sibuk mencampur pupuk organik untuk media tanam dari bekas botol plastik. sampah minuman itu dia kumpulkan disekitar pesantren saja. “Sambil bersih-bersih,” ujarnya.

Tak hanya memanfaatkan lahan yang minim untuk bercocok tanam. Mang Usep juga mencoba memelihara lele sekaligus menanam kangkuing denngan pola hidpronik. Lele disimpan di ember besar, diseklilignnya dipasang geals-gelas plastik untuk media tanaman kangkung dan pekcoy.

“Yah sekarang ada yutub. Hehe belajarnya liat yutub,” katanya membanggakan diri. Jujur saja, dia baru kali ini mengenal dunia digital dan media sosial.

Ada lagi, seorang lelaki yang sudah paruh baya, beranak dua, dan cadel saat dia bicaranya. Namanya Mang Yahya, orang Jamanis Kab.Tasikmalaya. Rumahnya tidak jauh dari mesjid Itjeu, artis dangdut yang terkenal diera 90-an.

Apa yang Mang Yahya lakukan dimasa Covid-19? Dia memebuat sarung celana dalam untuk mereka yang dikhitan. Semacam masker, tapi bukan untuk menutup hidung dan wajah, tapi menutup kemaluan anak lelaki yang baru beres dikhitan.

“Saya liat, masa corona ini malah banyak orang yang dikhitan. Mungkin pas ya, anak-anak tidak sekolah berbulan-bulan. Dan orang tuanya ada alasan untuk tidak hajatan.”

Bagi saya dia ini visioner dan cerdas melihat peluang. Tanpa riset menjelmet atau negosisasi proyek sana sini seperti pengusaha kontraktor. Mang Yahya polos, ia hanya melihat dari jauh klinik khitan yang tak jauh dari rumahnya.

“Berarti disetiap klinik penuh ramai. celana dalam untuk menutup anak-anak dikhitan pasti laku.”

Mang Yahya tak punya lahan luas seperti orang lain, tidak punya modal banyak, tidak punya relasi yang hebat-hebat juga. Dia hanya nekad membuat dengan mesin jahit yang dimilikinya, lalu menjualnya dengan direct selling.

“Alhamdulillah banyak pesanan sekarang.Malah kepikiran sekarang, selain ngajar ngaji bisa jadi penjahit celana dalam spesial sunatan.” katanya sambil terkekeh.

Dua contoh yang sederhana. Santri yang mentalnya excellent. Tidak ada keluhan apalagi menyalahkan keadaan. Pemahamannya tentang rezeki terpateri dalam hati, tugasnya hanya ikhtiar. Urusan rezeki biar Allah yang mengaturnya.

Semangatnya meniru ikhtiarnya istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar yang rela berjuang mati-matian demi anaknya, Nabi Ismail yang tengah kehausan di tengah padang pasir yang tandus.

Siti Hajar berlari-lari antara Bukit Shofa dan Marwah demi mendapatkan air. Ia tidak peduli harus sejauh apa dan berapa kali dia bolak balik antara Shofa dan Marwah tadi. Kegelisahannya untuk menyelamatkan nyawa sang anak dibuktikan dengan ikhtiar.

Apa yang terjadi? Air datang bukan dari rute Shafa dan Marwah tadi, melainkan dari hentakan kaki sang nabi. Bayi mungil yang darinya terlahir banyak nabi dan rasul yang menjadi kekasih-Nya.

Jadilah air zamzam sampai sekarang. Mengalir tiada henti tak ada habisnya. Dan upaya ikhtiar yang dilakukan Siti Hajar, harus tetap dilakukan sebagai sarana berjuang setiap manusia yang ada di dunia ini.

Pemahaman pada harta, menjemput rezeki dan jurus-jurus menghadapi masalah dalam kehidupan, kiranya sudah tidak perlu lagi diragukan dikalangan santri. Ideologi soal rezeki dan berbagai maslah kehidupan sudah habis dilahap mereka saat berada di pesantren bertahun-tahun lamanya.

Menutup tulisan ini, saya jadi melamun. Jika saja perusahaan mau menyalurkan serius dana CSR untuk pengembangan pendidikan santri. Jika saja pemerintah dan berbagai corporate serius menyiapkan berbagai fasilitas kesehatan, mengatur protokol Covid-19 dan lebih memprioritaskan kesehatan santri di pesantren yang kini sudah mulai memasuki tahun ajaran baru.

Jika saja pemerintah dan atau siapa saja yang peduli dan berkemampuan, ikut menjaga para santri yang tengah menimba ilmu di pesantren hari ini. Jika saja semua bersatu untuk memajukan dunia santri hari ini, maka saya haqqul yaqin, dua dekade yang akan datang Indonesia akan memasuki masa emas.

Bonus demografi penduduk akan menjadi surga dunia yang memesona menghiasai seluruh penjuru nusantara. Hari ini kita jaga dan perhatikan santri, esok santri yang akan menjaga dan membangun bangsa.

InsyaAllah, jika pun terjadi krisis yang parah dimasa depan, atau jika ada pendemi yang lebih dahsyat dari covid-19 dimasa depan, saya pun meyakini, jika mayoritas rakyat indonesia bermental nyantri, seberat apa pun masalahnya tidak akan pernah goyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *