Hari ini hari Ibu. Harinya para perempuan hebat. Kaum hawa yang ditakdirkan Tuhan untuk memberi warna dalam setiap persimpangan sejarah peradaban. Tanpa perempuan, yakinilah, kehidupan ini tidak akan pernah ada.
Bukan perkara tabu membicarakan hari ibu, perempuan dan politik. Karena memang, isu tentang peranan perempuan dalam hajat demokrasi di republik ini masih menjadi wacana menarik. Berbagai lokakarya, seminar, tulisan dan ragam diskusi bertemakan perempuan ini tidak pernah absen. Selalu ada, terukir dan mungkin akan abadi. Abadi ditataran wacana dan konseptual.
Saya menyebut ini sebagai konseptual. Karena memang faktanya, soal aturan keterwakilan 30 persen perempuan pada politik sejujurnya telah ada sejak reformasi bergema. Kendati saat Pemilu 1999 belum ada kebijakan soal keterwakilan perempuan ini, tapi isu tentang perempuan berhembus kuat. Hasilnya, saat ini, lumayan. Keterwakilan perempuan dalam parlemen mencapai 9 persen.
Hasil meningkat pada Pemilu 2004. Bukan lagi tataran isu, keterwakilan perempuan sudah mulai dianjurkan oleh regulasi. Dan hasilnya, keterwakilan perempuan mencapai 11 persen.
Lalu menginjak Pemilu 2009, regulasi keterwakilan perempuan lebih tegas lagi, hasilnya meningkat menjadi 17,86 persen. Lalu disusul dengan Pemilu 2014, lalu kemudian Pemilu 2019, berturut-turut keterwakilan perempuan ini diangka 17,32 persen dan 20,52.
Idealnya begitu. Meningkat dan terus meningkat. Peranan perempuan, terutama ditingkat peserta pemilu, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Perempuan masuk arena pertarungan politik harus menjadi prioritas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Lantas, bagaimana peranan perempuan ditingkat pengawas atau bahkan penyelenggara pemilu? Jawabannya tentu saja ideal. UU nopemilu mor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemiliham umum, pasal 6 ayat (5) misalnya, menyebutkan bahwa komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
Sayang seribu sayang. Pada kenyataannya saya hanya bisa terkekeh jika membandingkan dengan perenan perempuan di daerah, wabilkhusus, di Kabupaten Bandung Barat, tempat saya lahir, besar dan berkiprah di tengah masyarakat.
Mari lihat faktanya. Anggota KPU Kabupaten Bandung Barat periode 2018 – 2023, berjumlah lima orang, semuanya kaum adam. Komisioner Kang Adie Saputro sebagai Ketua KPU
(Divisi Keuangan, Umum, Logistik dan Rumah Tangga), Kang Ripqi Ahmad Sulaeman sebagai Anggota KPU (Divisi Teknis Penyelenggaraan), Kang Maman Resmana sebagai Anggota KPU (Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM), Kang Muhammad Yuga Wira Praja sebagai Anggota KPU (Divisi Perencanaan, Data dan Informasi) dan Kang Rovi’i sebagai Anggota KPU (Divisi Hukum dan Pengawasan).
Secara pribadi, saya tidak meragukan kompetensi mereka. Mereka semua sudah khatam soal penyelenggaraaan kepemiluan di Kabupaten Bandung Barat. Namun di sisi lain, saya berpandangan bahwa di kabupaten yang berpenduduk 1,7 juta jiwa ini memang seperti tidak ada perempuan yang kompeten mengurus pemilu.
Sedikit terobati untuk pengawas di tingkat Kabupaten. Ketua dan anggota Bawaslu Kab.Bandung Barat periode 2018-2023, masing-masing yakni Kang Cecep Rahmat Nugraha,S.Sy, Kang M.Firdaus Ibnu,S.HI, Kang Ujang Rohman,S.Ag dan Kang Said Hudri,S.Pd.I. Terakhir, ada seorang srikandi yakni Teh Ai Wildani Sri Aidah,S.Pd.Ind.,S.H.,M.MPd.
Komposisinya memang masih 20 persen. Masih lumayan dan sedikit mengobati kekecewaan jutaan perempuan. Dibandingkan dengan komposisi KPU Bandung Barat yang 0 persensaja. Masih bisa alhamdulillah. Capaian yang harus di syukuri.
Kini, menyongsong Pemilu 2024 peranan perempuan bukan tidak ada hambatan. Fakta di daerah, seperti Kab.Bandung Barat ini misalnya, sejatinya perempuan sedang menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi sejak sekian lama. Padahal kita semua tahu, ketidaksetaraan ini telah merugikan bangsa dan negara.
Kesetaraan gender harus menjadi persoalan pokok. Pemilu sebagai sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan harus diawali dengan pengawas dan penyelenggara. Bahwasannya, komposisi keterwakilan perempuan adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Ini penting. Karena rendahnya keterwakilan perempuan ini berdampak pada kebijakan kesetaraan gender. Jika pesat demokrasi belum mampu mengakomodir perempuan, maka jangan salahkan suasana pesta yang akan hambar rasanya.
Perempuan berperan sebagai stability control. Perempuan dengan segala anugerah dari Tuhan, akan mampu memberikan keseimbangan dalam dinamika politik, dalam pengawasan dan dalam penyelenggaraaan. Percayalah, perempuan tidak hanya berbicara perasaan, namun mampu meracik keadaan hingga sesuai harapan.
Perempuan dalam hajat politik akan membawa rasa berbeda dalam setiap tahapan pemilu. Perempuan akan solutif menghadapi segala masalah dan tantangan. Kodratnya kaum hawa, ikut serta dalam orkestra indah kehidupan, tetap mengedepankan akal dan diwaktu yang bersamaan memamakai perasaan.
Penulis : Lia Yuliani Rosali
Ketua Persikindo (Persatuan Srikandi Kreatif Indonesia) Kabupaten Bandung Barat