News

Menteri Nusron Bongkar Fakta Mengejutkan, Pagar Laut Ilegal di PSN Tanpa Sertifikat!

140
×

Menteri Nusron Bongkar Fakta Mengejutkan, Pagar Laut Ilegal di PSN Tanpa Sertifikat!

Sebarkan artikel ini

JAKARTA (CM) – Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa pihaknya belum menemukan adanya sertifikat terkait pembangunan pagar laut di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berlokasi di Desa Mauk Barat, Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut tersebut membentang sepanjang 30,16 kilometer dan saat ini berstatus ilegal.

“Di Mauk Barat, yang termasuk dalam kawasan PSN, hingga kini belum terdapat sertifikat yang diterbitkan,” ujar Nusron dalam rapat bersama Komisi II DPR RI yang berlangsung di Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis 30 Januari 2025.

Nusron menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN telah melakukan pemeriksaan secara mendetail di 16 desa dan enam kecamatan yang terdampak pembangunan tersebut. Dari hasil pemeriksaan, tidak ditemukan adanya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk kawasan PSN di Desa Mauk Barat, Kecamatan Mauk.

“Kawasan ini merupakan hutan mangrove seluas 1.500 hektare, dan sampai saat ini belum ada SHGB maupun SHM yang diterbitkan di wilayah tersebut. Apakah nantinya akan ada atau tidak, kami belum bisa memastikan. Namun, hingga saat ini, belum ditemukan adanya sertifikat yang sah,” jelasnya.

Menurut Nusron, pihaknya hanya menemukan sertifikat di dua desa dari total 16 desa yang telah mengalami pembangunan pagar laut di Kabupaten Tangerang. Dua desa tersebut adalah Desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji dan Desa Karang Serang di Kecamatan Sukadiri.

Di Desa Kohod, telah diterbitkan sebanyak 263 SHGB dan 17 SHM, dengan luas total mencapai 390,7985 hektare untuk SHGB dan 22,934 hektare untuk SHM. Dari jumlah tersebut, Kementerian ATR/BPN telah membatalkan 50 sertifikat.

“Proses pembatalan masih berlangsung. Kami sedang mencocokkan data untuk menentukan mana yang berada di dalam garis pantai dan mana yang berada di luar garis pantai,” ujar Nusron.

Sementara itu, di Desa Karang Serang, tiga bidang tanah telah diterbitkan sertifikat sejak tahun 2019. Sertifikat lainnya terbit pada tahun 2023 dan 2024. Namun, Nusron belum merinci apakah sertifikat tersebut merupakan SHGB atau SHM.

Lebih lanjut, Nusron memaparkan bahwa pagar laut sepanjang 30,16 km ini terbentang di enam kecamatan dan 16 desa. Rinciannya adalah:

  • Kecamatan Teluk Naga: Desa Tanjung Pasir dan Desa Tanjung Burung
  • Kecamatan Pakuhaji: Desa Kohod, Desa Sukawali, dan Desa Kramat
  • Kecamatan Sukadiri: Desa Karang Serang
  • Kecamatan Kemiri: Desa Karang Anyar, Desa Patramanggala, dan Desa Lontar
  • Kecamatan Mauk: Desa Ketapang, Desa Tanjung Anom, Desa Marga Mulya, dan Desa Mauk Barat
  • Kecamatan Kronjo: Desa Muncung, Desa Kronjo, dan Desa Pagedangan Ilir

Namun demikian, dari 16 desa tersebut, Kementerian ATR/BPN hingga saat ini belum menemukan SHGB maupun SHM di 14 desa lainnya. “Kami sudah melakukan pengecekan satu per satu. Misalnya di Desa Tanjung Pasir dan Desa Tanjung Burung di Kecamatan Teluk Naga, hasilnya tidak ditemukan adanya sertifikat yang diterbitkan. Berita yang beredar di media sosial terkait hal ini tidak benar,” tegas Nusron.

Lebih lanjut, Nusron menjelaskan bahwa sertifikat yang diterbitkan di pesisir Kabupaten Tangerang merupakan hasil konversi dari girik ke SHGB dan SHM. Dalam rapat dengan Komisi II DPR RI, ia menegaskan bahwa tidak ada penerbitan sertifikat baru, melainkan hanya konversi dari girik yang sudah dimiliki masyarakat sejak lama, sebagian besar berasal dari tahun 1982.

“Proses di Tangerang ini bukan penerbitan hak baru, melainkan konversi dari girik ke SHM dan SHGB. Hampir semua girik yang ada berasal dari tahun 1982,” kata Nusron.

Ia menambahkan bahwa kasus terkait pagar laut ini berhubungan dengan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). “Proses sertifikasi ini dilakukan melalui program PTSL. Namun, jika masuk ke dalam program ini, maka yang bertanggung jawab adalah panitia ajudikasi,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN, Asnaedi, menjelaskan bahwa girik pada awalnya merupakan bukti kepemilikan tanah lama berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut, pemilik tanah seharusnya mendaftarkan tanah mereka agar mendapatkan status hukum yang sah. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan regulasi, hak atas tanah yang bersumber dari girik seharusnya sudah tidak berlaku lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *