News

ABK di Tasikmalaya Masih Terkendala Stigma dan Minim Dukungan Pemerintah

200
×

ABK di Tasikmalaya Masih Terkendala Stigma dan Minim Dukungan Pemerintah

Sebarkan artikel ini

KOTA TASIK (CM) – Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kota Tasikmalaya masih menghadapi berbagai tantangan dalam proses tumbuh kembang mereka, meskipun banyak di antaranya memiliki potensi luar biasa di berbagai bidang. Dukungan orang tua yang terbatas, stigma masyarakat, serta kurangnya komitmen dari pemerintah daerah menjadi hambatan yang terus membayangi.

Persoalan ini disoroti dalam acara bertajuk “Peranan Orang Tua dalam Peningkatan Softskill Anak Berkebutuhan Khusus” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Tasikmalaya pada Jumat 20 Juni 2025.

Ketua Aisyiyah Tasikmalaya, Sunanih, M.Pd., menekankan bahwa dukungan orang tua merupakan fondasi utama dalam mendorong perkembangan anak-anak disabilitas. Menurutnya, masih banyak orang tua yang belum menyadari bahwa di balik keterbatasan anak, terdapat potensi yang luar biasa jika diberi kesempatan dan kepercayaan.

“Ini menjadi tanggung jawab bersama, termasuk bagi kami di Aisyiyah, untuk terus membangun kesadaran bahwa anak-anak ini bisa tumbuh dan berprestasi asal didampingi dengan baik,” ujar Sunanih.

Sunanih juga menggarisbawahi berbagai kendala yang dihadapi ABK, mulai dari kurangnya pemahaman orang tua, keterbatasan ekonomi, stigma sosial, hingga lambatnya akses terhadap pendidikan inklusif.

Minimnya informasi yang dimiliki banyak orang tua terkait cara mendidik anak berkebutuhan khusus, jenis terapi yang tepat, serta pentingnya keterlibatan mereka dalam proses tumbuh kembang anak, membuat banyak ABK tidak mendapatkan dukungan optimal di rumah.

“Masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata anak-anak difabel. Tak jarang mereka jadi korban diskriminasi, dirundung, atau bahkan dianggap aib oleh lingkungan sekitar. Ini tentu sangat mempengaruhi psikologis anak maupun keluarganya,” lanjutnya.

Ia juga menyoroti biaya tinggi untuk pendidikan khusus, alat bantu, terapi, dan layanan pendukung lainnya yang kerap menjadi beban berat bagi keluarga. Tidak sedikit orang tua yang akhirnya menyerah karena tak mampu memenuhi kebutuhan anak mereka.

Selain itu, ketersediaan sekolah inklusif, guru pendamping khusus, serta fasilitas kesehatan yang ramah disabilitas di Kota Tasikmalaya dinilai masih sangat minim. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan jelas menjamin hak atas pendidikan dan kesehatan bagi penyandang disabilitas.

Baca juga: Unper Dorong Kota Inklusi Lewat Workshop Bahasa Isyarat

Meski sistem belum sepenuhnya berpihak, Sunanih menegaskan bahwa peran orang tua tetap sangat krusial. Mereka bukan hanya pengasuh, tetapi juga pendidik utama, motivator, dan pembela hak-hak anak.

“Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar bagi ABK. Orang tua harus aktif mendampingi, mengajarkan keterampilan dasar, dan memastikan anak mereka mendapat perlakuan adil di sekolah maupun masyarakat,” ujarnya.

Aisyiyah, lanjut Sunanih, akan terus berkomitmen menyelenggarakan pelatihan, edukasi, dan pendampingan untuk orang tua anak disabilitas, agar mereka tidak merasa berjalan sendiri menghadapi situasi ini.

Sementara itu, Aris Rahman, M.Pd., pegiat difabel dari Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas), menilai keberpihakan pemerintah kota terhadap ABK masih sangat lemah.

Ia mencontohkan lambannya penanganan berbagai laporan mengenai masalah kesehatan dan perlindungan hukum yang dialami anak-anak disabilitas. “Banyak laporan yang kami terima berjalan lambat, bahkan diabaikan. Padahal, anak-anak ini adalah warga negara yang memiliki hak yang sama,” tegas Aris.

Papeditas pun mendesak agar Pemkot Tasikmalaya segera menyusun roadmap layanan inklusi yang terstruktur dan berkelanjutan, lengkap dengan alokasi anggaran dan indikator yang jelas — bukan sekadar program seremonial.

Menurut Aris, tantangan dalam pengembangan anak disabilitas tidak bisa ditangani oleh keluarga atau organisasi sosial saja. Diperlukan sinergi seluruh elemen—pemerintah, masyarakat, sekolah, dan lembaga sosial—untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.

“Kami berharap Kota Tasikmalaya bisa segera bertransformasi menjadi kota yang inklusif, di mana semua anak, tanpa terkecuali, mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *