News

Dedi Mulyadi Menanjak, Gaya Blusukan, Keberanian Debat, dan Tantangan Dominasi Jawa

137
×

Dedi Mulyadi Menanjak, Gaya Blusukan, Keberanian Debat, dan Tantangan Dominasi Jawa

Sebarkan artikel ini

JABAR (CM) – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, belakangan ini menjadi sorotan di panggung politik nasional. Ia kerap disebut dengan julukan seperti “Mulyono Jilid II” hingga “Jokowi-nya Tanah Sunda” karena gaya kepemimpinannya yang sering terjun langsung ke tengah masyarakat—sebuah pendekatan yang mengingatkan pada metode blusukan ala Presiden Joko Widodo.

Meski demikian, menurut pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, menyamakan Dedi dengan Jokowi secara langsung bukanlah hal yang sepenuhnya akurat.

Dalam acara “On Point with Adisty” di kanal YouTube Kompas TV, yang tayang pada Sabtu (10/5/2025), Burhanuddin menjelaskan bahwa karakteristik dan pendekatan kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan mendasar.

Kalau menyebut Kang Dedi Mulyadi sebagai Jokowi versi 2.0, menurut saya itu tidak sepenuhnya tepat,” ujar Burhan.

Ia menyoroti bahwa Dedi memiliki gaya komunikasi yang lebih lugas dan ekspresif. Ia dikenal berani berdialog bahkan berdebat terbuka saat menghadapi isu di masyarakat—berbanding terbalik dengan Jokowi yang lebih sering mengandalkan pendekatan non-verbal seperti senyuman atau diam.

Burhan juga mengungkapkan salah satu momen penting ketika Dedi masih menjabat sebagai anggota DPRD Purwakarta periode 1999–2004. Saat itu, Dedi berani menemui langsung para buruh yang melakukan unjuk rasa, sikap yang dihindari oleh banyak rekan sesama anggota dewan.

Diskusi keras sempat terjadi di tengah aksi demo tersebut. Tapi justru dari peristiwa itu, Kang Dedi makin dikenal karena keberaniannya berdialog secara terbuka dengan pihak yang berbeda pandangan,” jelas Burhan.

Selain gaya kepemimpinan, latar belakang kedua tokoh pun turut membedakan. Jokowi memiliki akar dalam kegiatan Mapala, sementara Dedi adalah aktivis yang tumbuh dari organisasi mahasiswa seperti HMI dan berbagai kelompok kepemudaan.

Burhanuddin juga menekankan bahwa Dedi berhasil menembus dominasi Jakarta sebagai pusat gravitasi politik nasional. Umumnya, popularitas pemimpin daerah bermula dari Ibu Kota karena posisinya sebagai pusat pemerintahan dan informasi. Namun Dedi berhasil membalik arus tersebut dari Jawa Barat.

Biasanya tokoh yang naik secara nasional itu berasal dari Jakarta—lihat saja Jokowi, Anies Baswedan. Tapi kini justru muncul dari Jawa Barat. Ini fenomena yang cukup menarik,” ujar Burhan.

Tak hanya itu, Dedi juga menantang dominasi etnis dalam peta politik nasional. Selama ini, banyak tokoh nasional berasal dari latar belakang etnis Jawa. Namun sebagai tokoh Sunda, Dedi berhasil membuktikan bahwa suara dari etnis terbesar kedua di Indonesia juga mampu menembus panggung nasional.

Kita tahu kepala daerah yang populer selama ini rata-rata berasal dari latar Jawa—Jokowi, Ganjar, Anies. Meskipun Anies tidak sepenuhnya Jawa, tapi besar di Jogja. Nah, ini sekarang dari Sunda,” tambahnya.

Dengan pendekatan yang khas, pengalaman sebagai aktivis, serta keberaniannya menembus batas-batas tradisional dalam politik, Burhan menyebut Dedi Mulyadi sebagai kepala daerah dengan tingkat popularitas tertinggi di Indonesia saat ini.

Tidak ada kepala daerah lain—baik gubernur maupun bupati—yang mampu menyaingi popularitas Kang Dedi Mulyadi saat ini,” tutup Burhanuddin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *