CIAMIS (CAMEON) – Tatar galuh punya kekayaan sejarah. Namun sayang, bukti-bukti sejarah yang tersisa tidak dirawat dan diperhatikan dengan serius oleh pemerintah setempat.
Misalnya saja Situs Keramat Jangraga Patilasan Pangeran Sutajaya, yang berada di Kampung Sukamaju Desa Selamanik Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis. Situs kaya sejarah ini luput dari perhatian Pemkab Ciamis.
Padalah potensi besar ada di sini. Dari sisi jalur menuju ke lokasi ini terbilang strategis. Berada di lintasan menuju Cirebon dan sekitarnya hingga Jawa Tengah. Dari arah lainnya, jalur ini bisa dilalui melalui Tasikmalaya.
Penelurusan CAMEON, situs bersejarah ini mulai ramai dibicarakan lantaran ada makam keramat tokoh penyebar Islam yang dikenal dengan budi pekerti, kecerdasan dan ketampanannya. Tak ayal, banyak orang berharap berkah melalui wasilah tempat ziarah ini.
Selamanik sendiri, merupakan desa pemekaran dari Desa Selacai. Daerahnya merupakan perbukitan, berada di kaki Gunung Sawal dan dilintasi jalan raya yang strategis. Nama Selacai sendiri begitu kental dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dihimpun dari berbagai sumber, nama Selacai diberikan oleh almarhum Bupati Ciamis R.A. Kusumadinata III, yang populer disebut “Kanjeng Perbu.“ Nama selacai itu didasarkan pada adat istiadat atau budi pekerti rakyat setempat yang senantiasa patuh pada perintah-perintah atasan serta hidup rukun dan damai.
Namun ada makna lain. Jika melihat nama Cai memang wajar adanya, daerah ini merupakan kawasan resapan. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Ciamis telah memutuskan area Makam Keramat Blok Selamanik, yang luasnya mencapai 2,1 hektar itu sebagai hutan kota.

Meski telah ditetapkan sebagai kawasan hutan kota dan terdapat situs sejarah, namun tetap saja, kawasan ini tidak diperhatikan maksimal. Sejumlah fasilitas umum misalnya, tidak serius dibuat dikawasan tersebut.
Untunglah inisiatif pengelola makam keramat ini tetap istiqomah menjaga situs sejarah tersebut. Sehingga para pengunjung yang datang, masih bisa menikmati pesona alam sekaligus berziarah dan bertafakur memuji keagungan Allah Subhanahu Wata’ala ditempat ini.
Saat menginjakan kaki dikawasan ini akan memberikan sensasi ruhani yang berbeda. Dimulai dari perjalanan yang disuguhi panorama alam mempesona, hingga berbagai filosofi dari sejumlah tiang yang berderet diarea makam.
Memasuki area makam, pengunjung disuguhi tanjakan ringan dengan 9 anak tangga. Sepanjang jalur ini, udara segar akan terasa karena pepohonan besar mengelilingi kawasan tersebut.
Di area makam, ada 6 tiang dengan balutan warna alam. Perpaduan putih dengan coklat tanah dan hijau lumut membawa kesan sakral kala melihatnya. 6 tiang ini membentuk sudut ganjil 5 mata.
Uniknya, makam keramat ini menyimpan pesona sejarah yang hebat. Tergambar perjalanan ketika masa kerajaan Galuh dan Mataram, kesultanan Cirebon yang telah memeluk Islam serta pertarungan melawan penjajah.
Juru kunci makam keramat tersebut adalah Engkus Kusdiana (41), ia bercerita tentang sosok Pangeran Sutajaya yang mendapat tugas dari Sultan Cirebon untuk berjuang membuat daerah-daerah baru di sekitar kuningan, Majalengka, Kawali, Galuh, mataram dan sampai kepesisir laut kidul.
“Misi utamanya adalah untuk menyebarkan Agama Islam,” Engkus mulai bercerita, saat ditemui CAMEON, awal pekan kemarin.
Rupanya sosok Pangeran Sutajaya ini briliant dalam berdakwah. Setelah misi di daerah Kuningan, Majalengka dan Kawali berhasil karena banyak yang masuk islam, Pangeran ini dibebankan misi baru.
“Beliau disuruh pamannya Eyang Cakra Buana untuk membabad wilayah baru di daerah yang terkenal angker, yaitu daerah Ciceuri, Cikaracak dan Gurun pasir,” ujarnya.
Daerah tersebut memang masih berupa hutan lebat. Namun ada satu potensi besar dikawasan tersebut, yakni banyak pohon alang-alang dan pandan. Prediksi sederhana, kawasan ini cocok untuk pertanian.
“Daerah tersebut diperintahkan supaya dijadikan lahan untuk membuat pemukiman rakyat yang sudah masuk Islam. Beliau pun mengerjakanya dengan bantuan pasukan yang menyertainya,” ungkapnya
Singkat cerita pangeran Sutajaya dan pasukannya merasa kelelahan, lalu beristirahat di sebuah tempat yang sekarang di namakan Jangraga. Saat itulah, beliau banyak bertafakur, berdzikir dan memohon kepada Alloh Swt agar tempat ini subur dan makmur.
Setelah merintis membangun pemumikan, tiba-tiba pangeran ini menyuruh pasukannya berkumpul. Ia memberi perintah dan mengatur strategi. Pasukannya berbagi tugas untuk berpencar dan berjaga-jaga di setiap penjuru gurun.
“Karena akan ada serangan dari Kerajaan Galuh dan Mataram yang tidak setuju daerah tersebut dijadikan wilayah pemukiman rakyat Islam dan tidak ingin jadi bagian daerah kesultanan Cirebon,” ungkap Engkus.
Ia bercerita, para pemimpin pasukan pembantu yang menemani Pangeran Sutajaya ini adalah orang-orang pilihan. Mereka ditugaskan membawa beberapa pasukannya berjaga-jaga di daerah yang telah di tentukan.
Dalam mensyiarkan agama Islam ini, ada 10 tokoh besar yang setia, diantaranya Adipati Jaya Baya, Adipati Jaga Sakti, Kidemang Panggal, Kibuyut Jaga Raksa, Kibuyut Ngabeui Kilinting, Kibuyut wila candra, Kibuyut Dengkot, Kibuyut Tumenggung Gandu, Kibuyut Anggana Anggani dan Kibuyut Karang Kamal.
Tidak lama setelah itu, peperangan pun benar terjadi. Namun berkat kecerdikan strategi yang disiapkan oleh Pangeran ini, peperangan sistem gerilya membuahkan hasil. Dalam waktu singkat pasukan Pangeran Sutajaya memenangkan pertempuran.
Setelah peperangan itu, banyak masyarakat Kampung Galuh dan Mataram masuk Islam. Semua pasukan Pangeran Sutajaya kembali berkumpul ditempat semula pada saat mereka datang pertamakali untuk beristirahat dan Pangeran Sutajaya membuat perundingan untuk menamai tempat yang telah mereka singgahi.
Tempat yang dipakai Semedi dan Tafakur beliau memberikan nama Jangraga, kata Jangraga tersebut memberi 2 arti, yaitu, buat jiwa seorang laki-laki, dan pengisian dan penyempurnaan diri dengan cara Tafakur Kepada Alloh SWT.
“Makna lainnya adalah untuk kemakmuran alam supaya tanah subur aman dari gangguan untuk keamanan menjalankan tugas kerajaan terlebih untuk mempertebal ilmu Akidah Islam,” paparnya.
Adapun gurun pasir yang dipakai tempat pengibaran bendera Kesultanan Cirebon dinamai Pasir Nagrog. Dan jalan yang akan dilewati beliau dipenuhi bendera kesultanan yang di tiangi oleh bambu, yang dinamakan Awi Ngajajar (kayu berjajar).
“Pangeran sutajaya adalah putra dari Pangeran Wirasuta dan Pangeran Wirasuta adalah putra dari Pangeran Paserean dan Pangeran Paserean adalah putra dari Kanjeng Gusti Sulton Syarif Hidayatulloh,” ujarnya.
Engkus selaku juru kunci Keramat Jangraga sekaligus yang membangun situs Keramat Jangraga menerangkan pembangunan ini masih tahap proses. Ia berusaha mandiri dengan anggaran alakadarnya.
“Belum ada bantuan dari pemerintah daerah ataupun pusat. Saya berharap Pemerintah memperhatikan budaya leluhur ini karena untuk proses pembangunannya, saya membangun Keramat ini dengan dibantu oleh para peziarah yang datang ke situs ini,” beber Engkus. (Fajar)