KOTA TASIK (CM) – Isu seputar penggunaan dua sistem bahasa isyarat di Indonesia kembali mencuat, yakni Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Perdebatan ini melibatkan tidak hanya aspek teknis komunikasi, tetapi juga menyentuh dimensi identitas budaya, kebijakan pendidikan, dan hak berbahasa bagi komunitas Tuli.
Di SLB Negeri Tamansari Kota Tasikmalaya, sejumlah tenaga pendidik membagikan perspektif mereka mengenai penerapan dua sistem bahasa isyarat tersebut. Guru-guru seperti Nurul Fadilah, S.Pd., Muhammad Arief Ridwan, S.Pd., dan Silmi Azizah Tajriani, S.Pd. mengungkapkan dinamika yang mereka hadapi dalam proses belajar mengajar.
Menurut Arief, kendati SIBI masih menjadi standar dalam lembaga pendidikan formal, banyak siswa tunarungu—khususnya yang sudah aktif dalam komunitas Tuli—lebih nyaman menggunakan BISINDO.
“Kami sering mendapat keluhan dari siswa, terutama tingkat SMP dan SMA. Mereka lebih fasih dengan BISINDO karena itu yang digunakan di lingkungan mereka sehari-hari,” jelas Arief saat ditemui di SLB Lestari, Jumat 23 Mei 2025.
Perbedaan Filosofis dan Praktis antara SIBI dan BISINDO
Dari sisi pendekatan, SIBI dikembangkan oleh pemerintah sejak tahun 1981 untuk menyesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia secara lisan dan digunakan dalam institusi pendidikan. Bahasa ini menggunakan satu tangan dan dianggap lebih formal namun kaku.
Sebaliknya, BISINDO muncul secara organik di tengah komunitas Tuli, menggunakan dua tangan dan bersifat lebih ekspresif, fleksibel, serta alami. BISINDO dinilai lebih mampu menyampaikan nuansa emosional dan makna sosial.
“Di sekolah kami mengikuti regulasi, jadi tetap menggunakan SIBI. Tapi saat berada di luar sekolah atau di komunitas, BISINDO jauh lebih efektif. Idealnya, keduanya bisa saling mengisi. Yang penting pesannya sampai,” ujar Silmi.
Tantangan Guru SLB: Ketika Bahasa Tak Lagi Diterima
Nurul Fadilah mengakui bahwa guru SLB kerap dihadapkan pada dilema. Meski kurikulum mewajibkan SIBI, kenyataannya banyak siswa yang lebih mudah memahami BISINDO.
“Tujuan utama bahasa adalah menyampaikan makna. Kalau anak tidak mengerti apa yang kita sampaikan karena sistemnya terlalu kaku, maka komunikasi jadi tidak efektif. Sebagai guru, kita harus adaptif terhadap kebutuhan siswa,” ungkap Nurul.
Aspek | SIBI | BISINDO |
---|---|---|
Asal Usul | Buatan pemerintah (1981) | Berkembang alami di komunitas Tuli |
Struktur | Sesuai tata bahasa Indonesia | Fleksibel dan intuitif |
Penggunaan Tangan | Satu tangan | Dua tangan |
Konteks | Sekolah dan acara resmi | Komunikasi sehari-hari |
Kelebihan | Terstruktur dan formal | Dinamis dan emosional |
Antara Regulasi dan Aspirasi
Pemerintah sebenarnya telah memasukkan pengembangan bahasa isyarat ke dalam Strategi Nasional Disabilitas, namun perbedaan antara pendekatan regulatif (SIBI) dan aspiratif (BISINDO) masih menjadi tantangan. Komunitas Tuli terus mendorong agar BISINDO diakui sebagai bahasa isyarat resmi nasional karena lebih mencerminkan identitas dan kebutuhan mereka.
Peran Publik: Mendukung Akses, Menghapus Stigma
Masyarakat umum juga memiliki peran besar untuk membangun lingkungan inklusif. Di antaranya dengan:
- Mempelajari dasar bahasa isyarat, baik SIBI maupun BISINDO
- Mendorong kehadiran juru bahasa isyarat di ruang publik
- Mengubah cara pandang bahwa Tuli bukan kekurangan, melainkan bagian dari keberagaman