Sekitar sewindu yang lalu, saat pertama kali menggeluti profesi wartawan, saya sempat mengalami speechless. Semacam ngebatin dan tak mampu berkata apa-apa.
Kala itu, saya masih menulis di sebuah media harian lokal di Tasikmalaya bertugas meliput sekitar 9 kecamatan di wilayah Tasik Utara Kabupaten Tasikmalaya. Bukan meliput di kantor pemerintahan daerah ya. Tapi hiruk pikuk dan geliat manusia di tingkat kecamatan.
Speechless-nya lebih disebabkan expektasi tentang dunia jurnalistik dan profesi intelektual ini yang berbeda dari bayangan yang saya harapkan. Semacam bertolak belakang dengan realita yang saya temukan.
Tapi tentu, speechless ini bukanlah menyesal. Ibarat rumah tangga. Seperti seorang gadis cantik, pintar dan hidup mapan namun menikah dengan seorang duda pengangguran dan jauh dari kata tampan. Bukan seperti itu.
Ahai, tepatnya seperti perempuan cantik sederhana yang baru menikah tapi belum terbiasa melayani suaminya. Masih kaget kala harus mencuci pakaian dan memasak. Tapi kemudian akhirnya toh bahagia. Hehehe.
Begini, ekspektasi saya muncul tatkala membayangkan kerennya menjadi wartawan. Terlebih, harapan bercampur idealisme ini muncul kala mendapatkan ideologi jurnalistik di kampus. Lebih mendalam lagi di lembaga pers mahasiswa.
Keren yang saya impikan bukanlah seperti seorang yang memakai topi, menggunakan rompi dan celana seperti anak gunung. Bukan pula menenteng kamera, notes mungil atau alat tulis dan melengkapi penampilan dengan atribut kewartawanan juga ID Card PERS terpasang di dada.
Begini. Sejak aktif di dunia pers kampus, pikiran saya berkutat pada kehebatan seorang jurnalis yang ikut bagian dari sejarah bangsa. Saya terhipnotis dengan perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Menulis dan abadi. Itulah yang saya pahami ketika amati seorang Pram. Wartawan plus sastrawan keren yang cerdas dalam hal stenografi ini bekerja di kantor berita Domei yang dipimpin Adam Malik.
Ia bisa merekonstruksi perang yang dilakukan Jepang di sejumlah wilayah seolah negara samurai ini juara dalam berbagai pertempuran. Selanjutnya, dalam setiap persimpangan sejarah Nusantara ini, sosok Mas Pram selalu ada. Ia nya sungguh abadi.
Selain Mas Pram, masih banyak lagi sosok-sosok wartawan yang menjadi aktivis pers sekaligus penggerak politik pribumi dan motivator perlawanan rakyat. Dari sana, tercetuslah rumusan konsep negara hingga cita-cita kemerdekaan dan perjuangan bangsa merdeka hingga mempertahankannya.
Memang luar biasa profesi ini. Saking mulianya, agama mayoritas di Indonesia, Islam, menaruh ideologi jurnalisme ini dalam bagian dari strategi jihad. Pun dalam dakwah sehari-hari melalui tulisan, prinsip tabayyun, ‘adl, shiddiq, manfaah dan istiqomah dipegang erat dalam setiap karya jurnalis muslim.
Tapi fakta di perdesaan tidaklah begitu. Saat pertama bertugas, saya katakan seperti ungkapan di atas, “Speechless.” Ternyata oh ternyata, dari ungkapan para narasumber baik tersirat maupun tersurat, mereka menganggap bahwa profesi ini betul-betul memuakkan.
Duh, banyak yang mengganggap profesi ini menjadi bahan umpatan, sumpah serapah, caci maki, keboringan, kepenatan, sumber gundah gulana dan kemarahan para guru, kepala sekolah dan pengurus yayasan, kepala desa dan pak camat, aparatur UPTD pendidikan, Puskemas dan KUA, anggota dewan dari sebuah Dapil, pengusaha, ibu-ibu Posyandu, tokoh masyarakat dan tokoh agama, bahkan aktivis karang taruna dan para petani.
Puncaknya adalah saat ibu, bibi dan paman saya, yang seorang guru PNS memberikan wejangan. “Carilah pekerjaan yang jelas. Masa kamu harus minta-minta amplop recehan begitu tiap hari.”
Ayah saya, yang kerjanya menikahkan sepasang insan dibawah naungan KUA pun berpesan seperti bijaksana. Kira-kira begini. “Lebih baik ngehonor aja di sekolah. Siapa tau jadi PNS. Atau berdagang saja gih dimodalin. Atau lebih berkah uruslah pesantren ini.”
Saya tentu tidak menyalahkan pemahaman mereka. Tentu keluarga saya dan orang-orang yang mengganggap jelek profesi ini tidak paham Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang UU Pers, bahwa wartawan itu diikat dengan kode etik.
Mereka tentu tidak tahu, bahwa orang-orang yang berperawakan seperti preman dan tidak beretika yang kerap meminta uang hanyalah oknum belaka. Bahwa sebenarnya wartawan itu tugasnya melayani masyarakat, memberikan pencerahan dan edukasi, menjadikan medianya sumber solusi bukan sebaliknya.
Masih ingat saat di kampung dulu, yang kemudian setelah Speechlees itu diganti dengan tersenyum penuh bangga. Bagaimana tidak terenyuh, kala menyaksikan bocah-bocah riang di perkampungan tanpa pengaruh gadget, melihat hamparan sawah yang menguning siap dipanen serta menginjakkan kaki di kampung baru hingga menyusuri jalan setapak untuk menuju titik destinasi alam mempesona.
Masih ingat kelucuan saat para pejabat beringsutan mengunjungi sebuah keluarga miskin yang hidup seperti di kandang ayam. Di sana tinggal keluarga muda yang anaknya ada 11 dan hidup dalam kondisi gizi buruk.
Kebahagiaan itu tentu terlalu banyak dan tak muat dengan kata-kata. Mengantar seorang yang sakit, bagaimana mengajak anggota dewan mendadak mendonorkan darahnya atau ikut bagian dalam panasnya kontestasi Pemilihan kepala desa yang lebih “hot” dari Pilkada DKI.
Hari ini, para jurnalis seluruh Indonesia harusnya berbahagia. Sebagian teman-teman di lapangan mungkin banyak yang biasa saja, masih menikmati kopi di pagi hari dan mengejar-ngejar janji temu dengan narasumber.
Sesibuk apapun kawan-kawan, hari ini tetap perlu kita rayakan. Meskipun puncak peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2017 diselenggarakan di Kota Ambon Maluku nun jauh itu, kita yang berada di lapangan layak bersukacita. Kita masih bisa berkarya dengan segala keterbatasan yang ada. Selamat hari pers.