Kolom

Memaknai Kembali Kemanusiaan

163
×

Memaknai Kembali Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini
Memaknai Kembali Kemanusiaan

OPINI, (CAMEON) – 71 tahun Indonesia merdeka, nampaknya kasus kemanusian masih belum selesai. Salah satunya adalah kasus Munir Said Thalib.

Kemarin (7/9), tepat 12 tahun Munir Said Thalib meninggal. Aktivis hak asasi manusia itu menghembuskan napas terakhir di pesawat Garuda Indonesia. Dalam perjalanan tersebut Munir berangkat dari Bandar Udara Changi ke Belanda.

Di usia 38 tahun,  dia hendak melanjutkan studi hukum di Utrecht Universiteit. Ia tewas dengan racun arsenik bersarang di lambungnya. Sampai saat ini kasus Munir masih belum selesai.

Saya menilai hal ini wajib  diperjuangkan. Untuk sekedar berbicara kemanusiaan, nampaknya memang sangat mudah. Tetapi, bagaimana dengan pemaknaannya?

Jika dimaknai secara lebih dalam terkait kemanusiaan, kaya itu seakan sangat kompleks. Bahkan bisa menyangkut pola tingkah laku kita sebagai manusia.

Apakah sudah pas atau cocok kita dipanggil manusia? Dikaitkan dengan tingkah laku kita sehari-hari. Lantas apa makna kemanusian yang sering kita obrolkan di warung kopi, di hotel, di gedung DPR atau bahkan istana negara yang megah itu.

Apakah sama arti kemanusian yang kita artikan selama ini?
Apakah kemanusian itu bisa berubah makna ketika kita membicarakanya di tempat yg berbeda?

Diakui atau tidak, saat ini terlalu banyak oknum yang mengatas namakan kemanusiaan. Entah sama atau tidak makna kemanusian tersebut. Lebih jauh, banyak sekali yang kepentingan mengatasnamakan kemanusiaan.

Hal kecil di daerah saya Kecamatan Gununghalu pembuatan E-KTP. Beberapa kerabat saya harus membayar uang sebesar Rp 150 ribu/orang untuk pembuatannya hingga jadinya. Jika harus bercermin, kepemilikan KTP adalah hal sangat mendasar bagi warga negara. Bahkan, proses dan pembuatannya itu gratis. Tanpa mengeluarkan uang sedikit pun.

Lalu, pihak pemerintah ke mana? Hal ini yang membuat saya ragu dan berfikir ulang terkait kemanusiaan.

Secara jelas manusia secara lahiriah sudah menyandang gelar sebagai manusia. Bahwa manusia itu makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainnya. Lantas kemuliaan yang kita sandang hari ini sudah sejauh mana kita perjuangkan

Sudah sejauh mana kita pertahankan? Bahkan sudah sejauh mana kita cari kebenarannya bahwa manusia itu makhluk yang paling mulia? Apakah kita itu selesai begitu saja ketika memaknai manusia mulia?

Saya rasa tidak seringan itu dalam memaknai kemuliaan manusia. Sadar atau tidak kemulian iti bisa berubah menjadi ‘kehinaan’ ketika kita tidak bisa memaknainya. Bahkan menyadari kemuliaan yang melekat di manusia.

Tidak sedikit pula banyak sekali teori yang dapat menjelaskan kemanusian.  Contohnya marxis, dalam teori kelas sosialnya.

Dalam teori kelas sosial itu, apabila kita tidak dapat memaknainya dengan saksama, maka terdapat pertentangan antara kaum miskin dan kaum kaya. Nah, jika saya boleh berpendapat dalam kelas sosial tadi, yang harus kita perjuangkan itu bukan menghilangkan orang kaya.

Sebab, sudah sejak lama kata kaya dan miskin itu ada. Tapi yang harus kita perjuangkan itu menghilangkan penindasan antara ‘SI KAYA’ dan ‘SI MISKIN’. Coba kalau di bayangkan, ‘SI KAYA’ bisa menghargai ‘SI MISKIN’ atau sebaliknya, ‘PEJABAT’ bisa menghargai ‘RAKYAT’.

Keduanya bisa duduk sama rata berdiri sama tinggi. Kata kemanusian itu pastinya akan  terjaga. Karena kejahatan atau penindasan terhadap kemanusiaan, yaitu ketidakmampuan.

Lebih spesifik lagi  ketidakmampuan saling menghargai. Apabila kita mampu saling menghargai pasti kemanusian yang sejati pasti akan tercipta.  cakrawalamedia.co.id

Penulis: Ahmad Zaenudin, Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Keluarga Mahasiswa Kabupaten Bandung Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *