KOTA BANDUNG (CM) – Kopi, jenis tanaman yang menghasilkan minuman punya kelas tersendiri dan banyak digemari oleh khalayak masyarakat, mulai dari Cappucino, Espresso, Americano, Espresso, Macchiato, Long black, dan lain-lain.
Menyikapi kopi yang kian digemari dan punya peran tersendiri, kelompok petani kopi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat membudidayakannya di lahan hutan milik Perum Perhutani, di kawasan Bandung Utara dengan luas sekitar 6.000 hektar di selatan dan tenggara lereng Gunung Tangkuban Parahu.
Perkebunan kopi di Lembang sangat membantu konservasi hutan karena petani diberi tanggung jawab memelihara hutan sekaligus bertanam kopi. Berdasarkan berbagai penelitian, 1 batang pohon mampu memproduksi 117.9 Kg setara dengan oksigen per tahun. Angka itu setara dengan kebutuhan oksigen yang dihirup oleh satu keluarga yang terdiri dari empat orang.
Apabila diasumsikan dalam 1 hektar lahan kopi ditanami 1.000 batang pohon, dalam setahun bisa dihasilkan 11 ton oksigen per tahun. Maka bisa dibayangkan, 1 hektar tanaman kopi saja bisa memberikan pasokan oksigen bagi sekitar 22.000 orang dengan gratis setiap harinya.
Kopi juga disinyalir dapat menyerap karbon dioksida (CO2) mencapai 1 ton dari setiap pohon per tahunnya. Sehingga kebun kopi berperan penting memerangi polusi yang kian parah. Meskipun pangsa pasar kopi sangat luas, tetapi kelompok kopi LMDH di Jabar mengeluhkan harga kopi yang sangat rendah, karena pemerintah yang belum menetapkan harga jual biji kopi yang wajar hingga saat ini.
Ketua LMDH Jabar, Roy Matia, menjelaskan, mereka menjual seharga Rp 7.000/kg biji kopi, padahal harga jual biji kopi (ceri) di dunia sekitar Rp 14.000/kg. Sedangkan dalam bentuk greenbean sekitar Rp 120.000 per kg, bahkan bisa mencapai Rp 200.000/kg bisa lebih bila hasil kopinya bagus.
“Harga jual kopi ke pengepul itu Rp7.000/kg biji kopi. Padahal biaya petik biji kopi Rp3.000/kg. Belum biaya penjemuran dan pemrosesan biji kopi. Berapa yang kami dapat? Harga jual kopi masih tidak jelas, tidak ada patokan standar harga jual kopi. Itu merugikan kami, Kami harapkan pemerintah bisa menetapkan harga jual biji kopi agar petani kopi bisa hidup wajar,” kata Roy.
Roy berharap pemerintah dapat memberi bantuan permodalan untuk pembelian mesin roasting dan mesin penggilingan kopi yang harganya lumayan. “Kebanyakan petani kopi disini mengolah secara manual, sehingga butuh waktu yang lama. Kami butuh mesin roasting, mesin pengupas kulit (cooler) dan mesin penggiling kopi,” katanya.
Selain itu, Roy berharap ada bantuan teknis dari peneliti atau akademisi untuk pengolahan kopi, dan terutama analisis usaha kopi agar bisa memakmurkan petani kopi. Karena selama ini mereka tidak pernah mendapatkan pendampingan dari pemerintah maupun Perhutani.
Butuh upaya lebih keras untuk menjaga hutan, demi menunjang keberhasilan usaha kopi. Semua itu demi kebaikan secangkir kopi, petani yang sejahtera dengan hutan yang terjaga. Ketika ditemui di stand kopi miliknya pada event Festival bambu di Gedung Sate, Roy mengatakan, bahwa para petani kopi berhak menunjukkan gigi taringnya, berhak pula menggaungkan kreatifitasnya. “Mereka para petani lokal berhak hidup sejahtera, perputaran uang harus merata,” tutur Roy, Kamis (28/11/2019).
“Setiap ada event di Gedung Sate, kopi tangkuban parahu sudah bekerja sama dan memiliki tempat tersendiri dengan Pemprov Jabar. Kopi tangkuban parahu diharapkan bisa mendapat hati di masyarakat karena kualitasnya tak kalah dengan kualitas kopi yang dijual di cafe. Dengan membeli produk lokal, berarti kita turut pula peduli pada ekonomi desa dan kesejahteraan para petani,” tandas Roy. (Intan)
Discussion about this post