Catatan Mang Kemon

Hukum dan Demokrasi Vs Tragedi Iji

42
×

Hukum dan Demokrasi Vs Tragedi Iji

Sebarkan artikel ini
Hukum dan Demokrasi Vs Tragedi Iji

mang kemonRabu (15/2/2017) ini jamuan demokrasi itu dihidangkan. Lebih dari satu caturwulan kemarin, kita bangsa Indonesia dikuras energi. Mahal sangat biaya suksesi pemimpin kita.

Meskipun hanya 153 pasangan calon dari 101 daerah, terdiri dari 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang menggelar Pilkada serentak, tapi masyarakat yang tidak ikut Pilkada pun mendapat cipratan panasnya. Setidaknya kebagian libur nasional.

Pilkada serentak tahun ini memang menghentak. Tahun 2018 nanti mungkin lebih menohok lagi. Setahun kemudian ada Pileg dan Pilpres lagi yang mulai sulit mencari ungkapan yang lebih dramatis dari kata “Menghentak” dan “Menohok.”

Apalagi nanti, jika sesuai rencana ditahun 2024, Kemendagri memprediksi pesta demokrasi akan berlangsung sekali. Terbayang hiruk pikuknya masyarakat dan politisi menghadapi Pilpres, Pileg pusat dan daerah, dan pemilihan kepala daerah mulai gubernur hingga bupati dan walikota.

Inilah harga yang harus kita bayar pasca bergulirnya reformasi. Orde Baru yang runtuh 1998 lalu telah membuka kran demokrasi yang menyita energi. Hampir dua dekade masyarakat kita disuguhi ini semua.

Satu orang satu suara dengan tagline rakyat yang berkuasa memang lazim dalam alam demokrasi ini. Berbagai janji kampanye atas nama rakyat semakin menggoda. Hingga hari pencoblosan, iming-iming kampanye bahkan “Duit” dimuka menjadi bagian dari “Edukasi” masyarakat kita.

Tapi, konsekuensinya tentu tidaklah sederhana. Tidak ada makan siang gratis. Kandidat kepala daerah deserta tim suksesnya harus merogoh kocek yang sangat dalam. Mimimal “Em-em-an” rupiah. Pun dengan duit negara melalui APBN dan APBD, dianggarkan tidaklah sedikit. Minimal “Te-Te-an” rupiah.

Dikala duit yang jumlahnya banyak itu mengocor bersamaan dengan agenda Pilkada, saat bersamaan masyarakat disuguhkan dengan proses hukum para elite.

Kasusnya beragam, dan saya kira unik-unik. Ahay. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT), Dugaan korupsi, penistaan agama, perjudian, pesta narkoba sampai urusan perzinahan. Semuanya disajikan dalam berbagai suguhan berita. Semua tahu. Dikupas aktual setajam SYILET.

Nun jauh ditengah pertarungan politik Pilkada Serentak dan perseteruan para kuasa hukum melawan para jaksa, hiduplah seorang janda muda dengan 13 anak, yang belum lama ditinggal mati suaminya. Odah namanya.

Serius. Odah yang usianya baru kepala 4 itu adalah benar rakyat Indonesia. Dalam KTP konvensionalnya (Belum E-KTP) ia tercatat asli warga pribumi, beralamat di Kampung Salarema Desa Jayamukti Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Republik Indonesia.

Apa istimewanya Odah dengan Pilkada serentak dan berbagai kasus hukum para elit? To what extent Odah sehingga harus disejajarkan dengan para elite do negeri ini?

Aih, bisa jadi Odah bukan siapa-siapa dimata para pejabat dan calon pejabat. Ia hanyalah seorang istri dari lelaki yang usianya setengah abad, nama lelakinya itu adalah Ini. Dan, riwayat Iji yang sehari-harinya membuat sapu ijuk itu pun kini sudah tamat.

Di rumah panggung, berdinding bilik bambu dengan ukuran bantuan sekitar 4×4 meter Itulah Odah tinggal. Bersama keenam anaknya yang masih bocah, Odah duduk diserambi sambil coba menerawang waktu beberapa hari lalu.

Kala itu, almarhum Iji sedang bercengkrama dirumah gubuk bersama Odah dan anak-anaknya. Tiba-tiba, datang belasan pemuda teriak dari luar. Lalu, menyeret Iji dan dipukulinya sampai tak berdaya.

Kata Odah, suaminya sudah terbaik-teriak ampun. Tapi apalah daya, nafsu para pengeroyok itu terlalu besar. Odah dan anak-anaknya hanya pasrah melihat suaminya meregang nyawa.

“Saya tidak terima! Suami saya diperlakukan seperti binatang. Saya ingin pelaku diadili, silahkan pak polisi bagaimana,” kata Odah dengan logatnya yang khas nyunda.

Nyawa Iji sebanding dengan dua ekor ayam kate yang diduga dicurinya. Ia harus tewas dihakimi massa dekat rumahnya, gara-gara dua ekor itu! Satu nyawa manusia sebanding dengan 2 ekor ayam.

“Sebenarnya ayam itu akan dikembalikan. Kebetulan anak paling kecil suka dengan ayam kate itu. Tapi sudah mau dikembalikan,” lirih Odih.

Bayangan kematian Iji tentu tidak akan hilang dari memory anak-anaknya. Odah pun demikian. Bersamaan dengan mimpi buruk itu, keluarga tanpa kepala ini menghadapi tantangan nasib yang tak mudah.

“Anak-anak masih kecil dan ada yang masih sekolah. Saya sendirian, tak punya apa-apa,” kata Odah sambil terisak.

Iji tentu tidak punya Jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan, asuransi pendidikan dan tidak pula meninggalakan warisan. Ini menjadi masalah basar bagi Odah sekeluarga saat ini. “Duka bade kumaha atuh bingung,” katanya Sambil mendekap anak-anaknya

Pikiran Odah tentu berbeda dengan para elit yang jadi tersangka, Calon pejabat dan sudah jadi pejabat di negeri ini. Siapa sih Iji. Lebih penting biaya kampanye yang sudah dikeluarkan sebagai modal.

Bahkan, jauh lebih penting urusan penistaan lambang negara. Dalam hitungaan jam polisi bisa meringkus pembuat lafadz La Ila Ha Illallah dalam merah putih. Ditengah banyak orang.

Terlepas dari kesigapan aparat, sebenarnya ada benang merah antara Odah dan Politisi yang kalah dalam Pilkada serentak. Kesamaannya adalah, “Seandainya waktu bisa diputar.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *