JAKARTA (CAMEON) – Ketua Bidang Kajian Hukum dan Kebijakan Publik KOPRI PB PMII, Aida Mardlatillah, ada penyimpangan hukum yang dilakukan pejabat publik ketika melakukan pembiaran pernikahan dibawah umur.
”Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun,” kata Aida Mardlatillah di sekretariat PMII, Kamis (19/10/2017).
Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun. Aturan lainnya di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama.
Maka, tegas dia, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan terjadi, dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten. Walaupun begitu, perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan.
Seperti, pada aturan lainnya perkawinan anak di bawah umur sungguh jelas melanggar hak-hak anak sesuai Penjelasan Umum angka 3 huruf a UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU HAM, UU Pornografi. Sebab, Undang-Undang itu telah menetapkan definisi anak telah mencapai usia 18 tahun. ”Perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dan menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi,” jelasnya.
Dimana, ungkap dia, perkawinan membutuhkan kesiapan fisik, psikis, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, dan spiritual. Perkawinan anak tidak dapat memenuhi syarat perkawinan yang diatur dalam pasal 6, yakni adanya kemauan bgebas dari calon mempelai karena mereka belum dewasa.
Tidak hanya itu, sebenarnya Melaksanakan perkawinan anak sebelum berusia 18 tahun adalah pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan peraturan lebih lanjut dari Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
”Sebenernya perlu dilakukan yudisial review atau uji materi terkait UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Di mana UU perkawinan yang memberikan batasan usia anak laki laki 19 tahun dan perempuan 16, sebab saya berfikir ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman saat ini,” terangnya.
”Namun, disayangkan Mahkamah Konstitusi sempar menolak uji materi batas usia perkawinan anak pada tahun 2015, dimana pemohon ketika itu meminta batas perkawinan anak 18 tahun sama halnya dengan UU lain seperti UU perlindungan anak,” ungkapnya.
Akan tetapi, untuk mencegah pernikahan anak bisa dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) seperti sudah dilakukan oleh Bupati Gunungkidul yang telah membuat Perda mengenai pencegahan perkawinan pada anak. walaupun secara hirarki hukum di Indonesia, posisi perda dibawah Undang-Undang, hal ini bisa dijadikan sebagai upaya pencehan terhadap pernikahan anak. (Nita Nurdiani Putri)