KOTA TASIK (CM) – Tasikmalaya dikenal sebagai pusat kerajinan bordir yang memiliki sejarah panjang dan kaya. Bordir di Tasikmalaya bukan sekadar keterampilan tangan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satu bentuk bordir yang paling terkenal adalah bordir kejek, atau bordir manual, yang menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang.
Menurut H. Yusran Arifin, seorang ahli bordir kejek di Tasikmalaya, kerajinan ini bermula dari Kampung Tanjung, Kawalu, namun kemudian menyebar ke wilayah selatan seperti Sukaraja, Karangnuggal, dan Cikatomas.
Setelah tahun 1998, terjadi perubahan besar dalam pemasaran bordir di Tanah Abang. Awalnya, pedagang dari Tasikmalaya memasok barang ke toko-toko, tetapi kemudian mereka langsung mendistribusikan ke daerah-daerah luar Tanah Abang, seperti Banten, Bogor, dan luar Jawa.
Inisiatif ini dipelopori oleh Hj. Nani Cipawela dan Hj. Eti Tambakbaya, yang berjualan di samping kendaraan di Basemen Blok A, Pasar Tanah Abang.
Inisiatif ini melahirkan Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya (GAPEBTA). Meski sempat menimbulkan protes dari pemilik toko dan pedagang senior, konflik berhasil diredam melalui dialog yang difasilitasi oleh Ketua GAPEBTA H. Asep Ridwan.
Saat ini, komunitas bordir lebih berkembang di Kabupaten Tasikmalaya. Di Kampung Tanjung, para pengrajin bordir bekerja di rumah masing-masing, seperti di CV Nanjung Abadi milik H. Asep Ridwan.
Di pabrik ini, pengrajin tersebar di berbagai pelosok Tasikmalaya, baik di kota maupun di kabupaten. Hanya beberapa operator mesin bordir komputer, petugas kualitas kontrol, dan staf administrasi yang bekerja di pabrik.
Teknologi bordir telah berubah dari bordir manual ke bordir komputer. Meski begitu, beberapa perusahaan masih mengelompokkan pengrajin bordir dalam satu tempat, seperti Komunitas Bordir Kejek di Kampung Cijeruk Hilir, Kelurahan Cibeuti, Kecamatan Kawalu, di mana sekitar 30 pengrajin, mayoritas ibu-ibu, bekerja di bawah pimpinan seorang perempuan setengah baya, memproduksi kain kebaya untuk pesanan dari Yogyakarta.
Namun, bordir kejek menghadapi ancaman kepunahan karena tidak adanya penerus. Di Kampung Batu Gores, Cianjur Kidul, Gunung Tandala, Kecamatan Kawalu, sekitar 15 pengrajin bordir masih aktif bekerja di rumah masing-masing, menerima pesanan dari beberapa toko bordir.
Sayangnya, mayoritas pengrajin ini berusia di atas 50 tahun dan tidak ada generasi muda yang tertarik melanjutkan keterampilan ini.
Sementara itu, banyak wanita muda di Tasikmalaya lebih memilih bekerja sebagai karyawan garmen, karyawan toko online, atau menjadi host di platform live streaming seperti TikTok.
Minat terhadap pekerjaan modern ini mengancam kelangsungan tradisi bordir yang menjadi identitas budaya Tasikmalaya. Kondisi ini menuntut inovasi dan upaya serius untuk menarik minat generasi muda agar tradisi bordir tetap hidup dan berkembang.
Komunitas bordir di Tasikmalaya merupakan pilar penting dalam mempertahankan warisan budaya dan ekonomi lokal. Diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa tradisi bordir Tasikmalaya tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di era modern ini.
Dengan demikian, pelestarian dan perkembangan kerajinan bordir di Tasikmalaya membutuhkan perhatian dan aksi bersama dari seluruh elemen masyarakat.
Hanya dengan kolaborasi yang erat dan inovasi yang berkelanjutan, tradisi bordir yang kaya dan bernilai ini dapat terus hidup dan menjadi kebanggaan generasi mendatang.