Kolom

Tasik dan Cimahi Bersih Bukan Karena Ahok

230
×

Tasik dan Cimahi Bersih Bukan Karena Ahok

Sebarkan artikel ini
Tasik dan Cimahi Bersih Bukan Karena Ahok

mang-kemonPekan terakhir ini ada 1 kata yang entah berapa kali saya baca dan saya dengar, yaitu kata “Bersih.” Menarik memang, kata ini kesannya positif dan penuh kebaikan. Berbeda dengan frasa “Kotor,” yang kesannya memang tidak disukai oleh banyak orang.

Manusia bersih, partai bersih, calon kepala daerah bersih, badan bersih dan segalanya yang serba bersih tentu orang akan suka. Berbeda dengan kotor, amalan yang penuh kebrengsekan akan sangat tidak disukai. Walaupun nikmat rasanya perilaku kotor, tapi nurani tetap tidak akan mau terima.

Aih, tapi entah mengapa, walau tahu bahwa bersih itu indah, tapi membawa pakaian bersih selalu terlupakan. Akhirnya, harus beli pakaian baru atau memaksa tukang loundry mengebut kerjaannya atau terpaksa memakai pakaian kotor. Kemeja ini yang saya suka walaupun berhari-hari, hehehe. Sudahlah, intinya begitu.

Bukan masalah pakaian kotor yang ingin saya ceritakan. Frasa sebaliknya dari itu, “Bersih,” yang saya dengar belakangan ini. Bersih, bersih dan bersih. Siapa yang tidak suka dengan kata ini.

Kata bersih ini pula yang membuat saya ngakak. Penyebabnya adalah ramainya dunia maya yang membahas kata bersih, Ahok dan Foke. Memang, pengguna internet sangat heboh dengan mesin pencarian Google akibat kata ini.

Saya pun iseng-iseng membuktikan dengan mengetikan dalam pencarian mbah google,’sungai bersih karena foke.’ Mesin pencari si mbah malah menyarankan kalimat ‘Did you mean: sungai bersih karena ahok’

Saya cek di internet, orang-orang malah membuat lelucon dengan pencarian ini. Ada saja tingkah lucu orang-orang, dengan mengutak atik kata pencarian ini. Kata ‘sungai’ banyak diganti dengan kata lainnya, seperti dompet, rumah, kuburan,, wajah, dempul, jalan, terminal bahkan baju kotor.

“Ah, seandainya baju kotor saya tiba-tiba bersih karena usulan Mbah Google dari pencariannya ke Ahok, keren sekali!”

Namun ternyata, pada akhirnya, bukan hanya lelucon saja saya dapatkan dari search engine Google dalam menyarankan “Bersih karena Ahok ini.” Berbagai analisa entah benar atau salah membuat saya mengerutkan dahi. Mulai dari penjelasan mbah google tentang proses crawling dan indexing, lalu pakar internet yang beranalisa tentang proses algoritmik, hingga pengaruhnya pada suhu Pilkada DKI.

Selain DKI Jakarta, dua daerah yang saya tempati juga tengah merayakan persiapan hajat Demokrasi, yaitu Kota Cimahi dan Kota Tasikmalaya. Daerah-daerah ini sama-sama menggelar PIlkada pada Februari 2017 mendatang. Untuk itulah cakrawalamedia.co.id alias CAMEON akan terus memantau secara cepat, objektif, independent dan berimbang.

Kembali kepada kata “Bersih” tadi. Begini, dua daerah ini (Cimahi dan Tasikmalaya) juga punya potensi besar dalam hal menjaga kebersihan. Dua-duanya bagus dan inspiratif.

Cimahi punya program Bank Sampah Induk Cimahi (Samici. Ya, program “Bank sampah” yang diluncurkan 3 Oktober tahun 2014 silam itu kini semakin menampakan “Bunga.” Dua tahun berlalu, kini Samici semakin direspon positif oleh warga masyarakat.

Seperti layaknya setor uang di bank, bedanya sampah yang dibawa masyarakat langsung ditimbang lalu dicatat oleh petugas. Selanjutnya, nasabah membawa bukti penimbangan sampah tersebut ke teller Bank Samici untuk dicatat dalam buku tabungan milik nasabah tersebut. Ada sekitar 40 jenis sampah yang bisa dijual ke Bank ini. Harganya ditentukan dari jenis sampahnya, mulai dari sampah kertas, plasik, jenis logam, dan kaca.

Sebenarnya, gebrakan dahsyat ini sudah didukung fasilitas menarik untuk para nasabahnya. Setahun pasca diresmikan dulu, Bank Samici meluncurkan kartu ATM yang siap memberikan pelayanan kepada para nasabahnya. Dengan bekerjasama dengan Bank Bukopin, para nasabah Samici bisa memiliki tabungan sekaligus bisa menjadi alat transaksi.

Sistem tabungan yang terakumulasi bagi nasabah yang menabung sampah di Samici ini akan menjadi daya tarik tersendiri. Pasalnya, warga yang menjadi nasabah Samici tidak akan mubadzir ketika mereka menyetor sampah dan kemudian dihargakan dengan nominal rupiah.

Kala peresmian oleh Wakil Wali Kota Cimahi Sudiarto dulu, Pemkot Cimahi sengaja melounching kartu ATM yang bekerjasama dengan lembaga keuangan profesional untuk memacu semangat masyarakat untuk menyetorkan sampah di Samici. “ATM ini untuk mempermudah nasabah Bank Samici melakukan transaksi uang dari hasil penjualan sampahnya,” katanya, kala peresmian ATM Bank Samici.

Kata Sudiarto, kartu ATM Bank Samici ini merupakan yang pertama digunakan oleh Bank Sampah di Indonesia. Ini juga jelas akan memberikan kemudahan bagi masyarakat ketika mereka mengambil uang pada malam hari atau pada saat bank tutup.

Kini, sejak diresmikan 2014 lalu, Bank Samici sudah menghimpun sekitar 700 nasabah ditambah dengan rata-rata 40 nasabah yang ada di 82 unit bank sampah yang ada di seluruh Kota Cimahi. Kesimpulan sederhana, masyarakat merespon baik.

Direktur Bank Samici, Warso Wijaya mengatakan, setiap bulannya jumlah nasabah selalu bertambah. Bahkan, omzet sampah yang dinominalkan ke dalam rupiah cukup besar. “Dari keseluruhan nasabah yang ada bisa menghasilkan 20-30 ton sampah, dengan nilai jual mencapai Rp 20-30 juta,” ungkapnya, Selasa (4/10/2016).

Di Tasikmalaya, ada sosok yang selalu mengkampanyekan Rumah Sampah dan hijau berbasis sekolah. Saya mengenal sosok ini 7 tahun silam dan kini masih istiqomah menjalankan misinya. Namanya Kang Wawan Widarmanto. Saya termasuk orang yang percaya dengan mimpinya, yakni mewujudkan generasi jujur, disiplin, mandiri, dan bermartabat dan menciptakan lingkungan bersih dan sehat secara kolektif dan bertanggungjawab.

Gerakan Kang Wawan ini semakin profesional dengan dibentuknya Yayasan Rumah Sampah Indonesia, alamatnya di Pagerageung Tasikmalaya. Yayasan ini melakukan kegiatan rutin setiap hari melalui berbagai gerakan kampanye, melalui Pendidikan formal dan informal, kesehatan, sosial, hingga ekonomi kerakyatan. Dalam berbagai kegiatan, nama Wawan sudah akrab sebagai tokoh peduli kebersihan.

Pekan ini saya kembali dipertemukan dengan Kang Wawan yang belum lama mendapatkan anugerah dari Dhompet Dhuafa ini. Pria berbadan kecil ini masih aktif ke sana ke mari, visi gerakannya masih sama seperti yang saya kenal sejak 7 tahun lalu. “Membangun negeri dengan kekuatan tauhid dan kemandirian adalah harga mati” juga “Maju bersama giat memberi dan berbagi ; haram mengemis dan sunnah share berjamaah”.

Dulu, saat pertama kenal, saya mengira orang ini kurang normal. Bagaimana tidak, dia rela merogoh semua koceknya hanya untuk membeli tempat sampah lalu dibagikan begitu saja kepada ibu-ibu di kampung. Dia juga yang rajin turun sungai membersihkan sampah dan menanam sejumlah pohon, lalu memasang spanduk di pinggir sungai, “Lamun leuweung ruksak, sampah pabalatak, anak incu balangsak.”

Sedikit yang saya saksikan dengan gerakannya. Ia menggerakan program rumah sampah berbasis sekolah (RSBS) sejak 2010. Ia telah mengunjungi lebih dari 200 lembaga sosial/pendidikan/PONPES/majlis Talim se-Priangan Timur, terutama prioritas wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Kota tasik, dan Kabupaten Ciamis.

Kemudian, dia mencetak kader militant dari kalangan mahasiswa/i perguruan tinggi ternama di Kota/Kab. Tasikmalaya seperti dari UNSIL, UPI Tasikmalaya, IAILM Suryalaya, STIE-LM. Kader inilah yang kemudian menjalankan konsep RSBS yang digerakan secara sistematis dan berkelanjutan melalui pembinaan rutin dan membentuk komunitas ratusan guru. Kini, guru binaan khusus selama 6 tahun sudah lebih dari 500 guru yang dibina rutin menjalankan misinya ini. Bahkan, jika melihat database yang dia miliki, ada lebih dari 10.000 guru selama bergerak sejak 2010.

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan kalimat-kalimat yang sering Kang Wawan Kampanyekan dalam berbagai sosialisasi RSBS-nya diberbagai tempat.

“Sungai mana di Indonesia yang ketika kita melewati sungai itu, kita akan melihat jernihnya dasar sungai sehingga memantulkan cerahnya langit? Mungkin sebagian dari kita akan menjawab, ada kok sungai di kampung halaman saya, namun ketika konteks pertanyaan diganti menjadi : Sungai mana di Indonesia yang ketika kita melewati sungai itu, tak ada sampah mengalir bersama derasnya air? Bisakah Anda menjawab? Semoga bisa!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *