Kolom

Selamat Hari Santri di Tasikmalaya

684
×

Selamat Hari Santri di Tasikmalaya

Sebarkan artikel ini
Selamat Hari Santri di Tasikmalaya

mang kemonBelum terlambat mengucapkan selamat hari santri nasional 22 Oktober 2016. Sama sekali belum terlambat meski ini saya katakan beberapa hari setelahnya. Karena tanpa hari santri pun, suasana santri masih dapat saya rasakan di Tasikmalaya.

Ya, Tasikmalaya. Siapa yang tidak kenal Bumi Sukapura ini? Daerah bagian selatan Jawa Barat ini memang terkenal dengan Kota Santrinya. Hampir disetiap sudut tempat, mudah di temukan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, tempat mengasah ketajaman berislam setiap warganya. Lengkap ada disini.

Memang, suasana santri di Tasikmalaya ini “Belum” hilang. Saya katakan belum, karena semoga saja nanti dan esok hari, suasana itu masih ada. Semoga masih menancap tega

Ada suara lantunan ayat Quran tiap magrib itu, suara shalawat di Mesjid dan mushola tiap “Sareupna” dan “Janari,” riuhnya anak-anak tiap sore bersarung menenteng kitab suci, ramainya para pemuda lembur melafalkan hafalan Jurmiah, Imriti dan Alfiah, atau para orang tua yang memaksa anaknya mengaji waktu selepas sekolah, hingga Ashar, magrib dan larut malam.

Sejujurnya, saya rindu suara-suara itu. Dan hari santri ini mengingatkan saya pada semua kerinduan. Rindu dengan nasi liwet, rindu dengan suara langkah ajengan yang membuat dada bergemuruh karena belum selesai tugas “Ngalogat”, rindu dengan kerak liwet, rindu dengan sarung yang copot didepan umum. Ah, kangen sekali dengan meriahnya acara Maulidan, Rojaban dan Muharaman yang akan menampilkan hafalan terbaik.

Mengenang hari santri di Bandung, tepat 22 Oktober 2016 hanya melihat deretan status dan berita media massa. Akhirnya, memaksa saya untuk bergerilya dengan lamunan. Mengenang menikmati petualangan nakal di Almujahidin Pagerageung, Miftahul Huda Pagerageung, di Darunnajah Ashidiqqiyyah Sindanglama Malausma Majalengka, Al Manshuriyyah Indihiang, Al Mubarok Awipari, Al Manshuriyyah Cibodas Cisayong. Ya Rab… rindu sekali semuanya….

Karena rindu ini pula, rasanya saya belum pernah merubah ikrar saya. Yakni, “Makan ternikmat adalah saat di pesantren makan nasi liwet.” Terlalu banyak yang ingin saya katakan. Sampai akhirnya terdiam dihari santri tak menuliskannya. Lalu, ada getaran haru yang merasuk ke seluruh darah dan… tak terasa air mata meleleh pelan. Biarlah saya disebut melankolis, tapi kenangan nyantri tak ada alasan bagi saya menahan itu semua.

……
Tasikmalaya 24 Oktober 2016

Jika saja sahabat saya, Kang Jeni Jayusman tidak mengundang saya ke Tasikmalaya, bertemu dengannya usai Paripurna DPRD Kota Tasikmalaya, Senin (24/10) siang, mungkin saya masih menikmati lamunan itu. Untunglah, wakil Ketua Legislatif di Kota Tasik yang nyentrik itu mengajak bersilaturahim dan akhirnya saya bisa puas bernostalgia dengan nasi liwet pesantren yang saya ikrarkan, “Ternikmat sedunia.”

Senin pagi di Pagerageung saya terbelalak. Melihat para siswa TK, SD, SMP dan SMA berpakaian seperti santri. Laki-laki berkopiah, perempuan berjilbab indah, sebagian diantara mereka bersorban sarung yang terlipat rapi. Rupanya tak hanya di Pagerageung, saya melihat itu di Ciawi, Jamanis, Rajapolah dan Cisayong. Sesekali di perjalanan, saya melihat rombongan dimobil bak terbuka. Sama, mereka berpakaian muslim dan melantunkan shalawatWow, indahnya bukan main.

Subhanallah, diperjalanan saya sengaja melaju melalui Pesantren Suryalaya, lalu kembali melewati Pagerageung dan mampir sejenak hanya sekedar menghirup kopi di gerbang pesantren. Bukan kebetulan, rekan-rekan M8Methode BCI yang tengah menggelar acara di Pesantren Kiarakuda Ciawi semakin menancapkan kebahagiaan dipagi itu.

Perjalanan dilanjutkan ke Jamanis yang banyak melalui beberapa Pesantren sepuh, lalu Rajapolah dan tibalah di gerbang Al Manshuriyyah Cibodas. Disini, saya tak banyak berkuti. Saya ingin sekali mencium telapak tangan almarhum KH Enggus Faqih dan KH Munir. Juga yang masih muda, ada Kang H Taufik, K Ma’mun dan banyak para asatidz ikhlas yang dulu begitu gigih mengajar di pesantren sepuh ini.

Tak jauh dari Cibodas, saya menyempatkan diam sesaat didepan Pesantren Pusat Thareqat Al Idrisiyyah. Masih terbayang rona senyum bahagia dan penuh ketenangannya Syeikh Muhammad Faturahman disini. Dulu, saya sedang gundah gulana kala menemui beliau.

Beberapa tempat di Tasik Utara itu saja, rasanya tulisan ini tidaklah cukup untuk menggambarkan Bumi Sukapura yang mempesona dihiasi Kitabullah dan Sunnah. Disini, masih tergambar Islam ramah bukan Islam marah.

Bagi saya, hari santri ini, hanyalah kunci membuka kenangan itu. Dari kenangan itu, tentu teringat dengan para karuhun Tasikmalaya yang sudah berjuang untuk negeri ini. Begitu banyak ulama besar yang lahir di Tasikmalaya ini dan telah menancapkan sejarah pada Republik ini.

Hari santri yang diilhami dari meletusnya pertempuran tanggal 26 Oktober hingga 9 Nopember 1945 di Surabaya antara rakyat sipil dengan tentara sekutu NICA, yang pemicu utamanya adalah fatwa RESOLUSI JIHAD NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh para ulama di bawah komando Rois Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yakni KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, bagi saya ini adalah kuncinya.

Setelah terbuka kunci itu, mari kita masuk ke dalam. Lihatlah, begitu banyak bukti perjuangan ulama dan para santri atas kemerdekaan bangsa ini. Begitu berharganya mereka, sehingga hari ini, kita leluasa bersujud, lega membaca kitab suci dan duduk dalam lingkaran-lingkaran halqah ilmu dimanapun kita mau.

Para ulama yang bersikap negarawan itu, begitu ikhlasnya mengakomodir mereka yang berbeda keyakinan. Seandainya saja, para pendiri bangsa yang kebanyakan para ulama itu tidak negarawan, mungkin NKRI ini bukanlah berlandaskan pancasila.

Terlepas dari itu semua, dihari santri ini, marilah kita bangga pada diri sendiri. Bangga karena siapapun kita, yang pernah merasakan minum di tanah Tasikmalaya ini, kita pernah merasakan belajar agama walaupun hanya beberapa huruf alif ba dan tsa.

Kini, dihari santri ini, meski bukanlah santri yang tamat belajar mengaji, tapi saya tidak akan lupa dengan beberapa amanat para guru kita. Salah satu amanat Uwa Ajengan Khoer Affandi, yang tidak boleh lupa.

Sholat awal waktu berjama’ah; Jangan berhenti mencari ilmu; Pertahankan aqidah ahlussunnah wal jama’ah;

“Lamun hayang maju kudu daek cape; Sagala anu tumiba ka diri gara-gara diri; Harga diri kumaha diri; Mun nyien pondasi tong sok waka mikiran kenteng; Senajan teu lumpat tapi ulah cicing. Tong leumpang dina hayang, tong cicing dina embung, tapi kudu leumpang dina kudu, kudu euren dina ulah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *