CAMEON – Meskipun dekat dan kurang familier, tapi memilih jalur kereta api untuk rute Tasikmalaya-Bandung menjadi favorite saya. Selain pertimbangan tiket go show yang murah, jalur rel ini kecil kemungkinan terkena banjir sehingga perjalanan pun jadi tepat waktu.
Catatan ini dimulai dari nikmatnya gorengan panas yang dijajakan tepat di depan Stasiun Tasikmalaya, tiap malam hari. Penjualnya, Nenek ramah nan baik hati. Selain aneka gorengan, Nenek berjilbab rapi ini menjual pula surabi, leupeut dan kopi. Semuanya panas. Aduhai sedapnya.
Nenek entrepreneur ini memang keren. Jemarinya seperti ada 100. Bayangkan, dalam waktu bersamaan, ia begitu cekatan menyeduh kopi sambil menggoreng. Didetik yang sama, ia membuat adonan untuk lisang goreng sambil melihat mengontrol api untuk menanak surabi. Disela itu semua, Emak masih sempat menyapa pelanggannya.
Maaf, bukan cerita Emak super ini yang akan dikupas. Melainkan sebuah kata yang tiba-tiba mengingatkan saya ke pesantren. Kata ini terinspirasi dari pecahan-pecahan gorengan yang disimpan dalam nampan.
Begini, jika anda pernah melihat tumpukan gorengan atau bala-bala atau gehu dalam nampan, pasti akan menyaksikan potongan-potongan kecil yang tercecer. Potongan sisa dari aneka gorenga ini akan selalu ada karena faktor gesekan dan tumpukan.
Bubuk dari gorengan inilah yang mengingatkan saya pada istilah, ashobah. Iya, dulu di pesantren, ashobah ini adalah bagian pavorit para santri kurang bekal. Mereka setia menunggu dagangan habis demi mendapatkan ashobah.
Jangan heran, jika ashobah jadi rebutan. Karena jika dagangan gorengan banyak, maka ashobah pun banyak. Kuantitasnya akan jauh lebih dari cukup untuk teman nasi liwet. Percayalah, ashobah beserta sedikit garam dan cabe rawit jauh lebih nikmat daripada makanan steak atau friedchicken.
“Asyik… ashobah. Horeeee… ashobah-nya gede-gede. Wow…. ashobah-nya buanyak banget…”
Hehehe kata ashobah ini sebenarnya bukanlah untuk gorengan itu. Ini merupakan istilah yang dipakai untuk salah satu item bagian waris. Jadi sebenarnya, para ahli ilmu faroid yang lebih layak membahas rinci tentang ‘ashobah ini.
Entah benar atau tidak, katanya membahas ilmu waris untuk bab ashobah ini adalah amazing. Iya, ternyata sebagian pihak ada yang menyukai ashobah ini. Tapi ada juga kok yang kurang menyukainya. Lho, kok bisa?
Sedikit saya terangkan, arti ashobah yang saya tahu (mohon koreksi jika salah), merupakan bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul furud alias penerima pasti. Jadi, ashobah ini adalah ahli waris penerima bagian sisa.
Rincinya begini, dari 25 kelompok ahli waris, ternyata ada yang yang tidak mempunyai bagian tertentu dan ini yang tidak ditegaskan dalam Alquran. Ahli waris yang inilah disebut ashabah.
Ashobah adalah orang yang diberikan atas sisa setelah para ashbul furud mengambil bagian-bagiannya. Sudah dibagi-bagi dan ternyata ada masih bagian sisa, itulah miliknya ashobah.
Jadi, apabila tidak tersisa sedikit pun dari ashbul furud, maka ashobah tidak mengambil bagian sedikit pun. Atau bisa saja, ashobah mendapatkan seluruh bagian apabila tidak ada seorang pun dari ashbul furud tadi.
Itulah ashabah, terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan) dan terkadang menerima bagian sedikit, dan bisa juga tidak menerima bagian sama sekali.
Kembali kepada Emak gorengan. Mendengar cerita saya tentang ashabah, Emak ini terkekeh. Ia kemudian bercerita hal-hal lainnya kesana kemari.
Keseruan obrolan saya dengan Nenek ini berputar dalam hal kasus penistaan Alquran oleh Ahok, tentang maksiat yang semakin bergelimpangan, tentang ulama dan terkahir tentang banjir. Nah, bab-nya banjir ini yang menarik.
Tahu alasan lain kenapa saya naik kereta api? Iya, saya rela menunggu jadwal lodaya malam pukul 01.30 Wib karena malas berlama-lama menunggu banjir surut di Kahatek Rancaekek. Disinilah langganan banjir bertahun-tahun lamanya.
Mengerikannya, hujan deras di wilayah Bandung dan sekitarnya pada Rabu (9/11/2016) sore, menyebabkan banjir melanda sejumlah titik. Tol padaleunyi KM 130, Cimahi, Padalarang, dan tentu daerah Bojong Soang dan Bale Endah.
Tapi, ada salah satu yang menjadi perhatian banyak orang, yaitu banjir di kawasan Pagarasih Bandung yang pernah menyeret mobil beberapa waktu lalu. Kali ini, dua mobil kembali teseret air dititik yang sama. Mengerikan.
Sekarang, setelah kata ashobah yang jadi perhatian, saya kok jadi terpikir dengan bulan November yang jadi akhir tahun anggaran. Pemerintah diberbagai daerah pasti tengah menggeber banyak proyek.
Lantas kenapa, pengerjaan proyek selalu mepet akhir tahun yang berbarengan dengan musim hujan. Mengerjakan gorong-gorong, pengaspalan jalan dan betonisasi selalu dilaksanakan Oktober, November dan Desember.
Selain mepet jelang tutup buku, pengerjaan diakhir ini rawan gagal. Faktor cuaca seperti sekarang tak bisa dilawan. Pekerjaan yang baru saja dilaksanakan sudah rusak lagi oleh banjir.
Duh duh duh, akhirnya proyek asal selesai. Ironisnya pemerintah merasa sudah lunas dengan programnya. Pun dengan legislatif asal manggut-manggut saja seperti grup paduan suara.
Punten, alasan lambatnya perencanaan, pembahasan, pelelangan dan menunggu anggaran perubahan bukan jamannya lagi. Masyarakat sudah cerdas. Dan di awal tahun kemarin, Presiden Jokowi sudah koar-koar agar duit segera dibelanjakan.
Lihatlah sekarang. Pemerintah pusat, Provinsi dan Kota Kabupaten sibuk menekan angka sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa). Untuk menyerap anggaran saja susahnya bukan main ternyata. Miris.
Kereta Lodaya sudah mau tiba. Saya berpamitan dengan Nenek gorengan sambil meminta ashobah kepadanya. Beliau tersenyum geli sambil membungkuskan sekeresek ashobah yang begitu banyak.
“Kalau mau ashobah gorengan kesini lagi. Mampir ke Emak, Nak,” tuturnya hangat.
Ah, dalam perjalanan di kereta yang tanpa hambatan, saya mau bermimpi agar Silpa duit pemerintah bisa berubah seperti ashobah. Peruntukannya untuk mengatasi banjir yang semakin menakutkan.
Daripada Silpa, kenapa tidak untuk ashobah saja. Mari bermimpi…