Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia jelang hari kemerdekaan yang ke-73 tahun, disampaikan pula rencana anggaran pendidikan dalam RAPBN 2019 sebesar Rp. 487,9 trilyun. Naik 38,1% dari realisasi anggaran tahun sebelumnya yakni Rp. 353,4 trilyun. Peningkatan anggaran ini merupakan kado ulang tahun Indonesia merdeka, untuk selanjutnya direalisasikan dalam berbagai program perbaikan kualitas sumber daya manusia.
Suasana kebatinan hari kemerdekaan adalah melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah guru menjamin layanan pendidikan yang berkualitas dan pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang mencukupi sebagai amunisi perang peradaban. Kecintaan terhadap tanah air dewasa ini harus diwujudkan dengan politik anggaran yang berfihak pada sektor pendidikan. Anggaran yang digelontorkan merupakan inventasi sumber daya manusia yang berharga di masa depan.
Pendidikan di era kemerdekaan menjadi faktor fundamental eksistensi sebuah bangsa agar mampu bertahan dari gempuran ideologi, mentalitas dan budaya asing sebagai bentuk penjajahan moderen yang tidak sesuai dengan kearifan lokal bangsa yang religius, nasionalis, cinta damai dan menjunjung tinggi solidaritas. Karakter inilah yang menjadi pilar negara yang senantiasa harus diajarkan oleh guru sebagai agen nasionalisme.
Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis guna mengangkat taraf hidup bangsa setelah 73 tahun Indonesia merdeka. Memang, pergumulan melawan keterbelakangan intelektual maupun mental sudah masif dilakukan. Diantaranya menggagas kurikulum 2013 dan gerakan revolusi mental melalui implementasi penguatan pendidikan karakter oleh segenap satuan pendidikan.
Namun, di sisi lain pemenuhan kebutuhan akan infrastruktur pendidikan masih menjadi PR besar yang harus segera diatasi seperti kekurangan guru ASN sekitar 733 ribu secara nasional, kebutuhan pendirian sekolah baru, belum maksimalnya pemerataan akses pendidikan terutama dari SMP ke SMA/SMK sederajat sehingga berkorelasi dengan gaung program SMA terbuka atau SMK PJJ (Pendidikan Jarak Jauh). Pakar demografi Ganjar Kurnia, mengatakan, angka rata-rata lama sekolah (RLS) di tanah air berkisar 8 tahun, ini artinya belum lulus SMP. Merekalah yang akan mengisi usia produktif (PR, 10/8/2018).
Dengan demikian, 20% anggaran pendidikan di atas harus dikelola seefisien mungkin untuk mengatasi segudang persoalan tersebut. Sehingga berimbas pada generasi yang bukan hanya surplus dari segi usia produktifnya saja melainkan surplus juga kecakapan hidupnya (life skill) dengan ditandai meningkatnya RLS (lulus SMA/SMK). Jika tidak, bonus demografi akan menjadi bomerang yang membayakan eksistensi negara ini. Generasi bangsa yang diharapkan handal bekerja/berwirausaha dan bermoral justru meleset, kemudian bisa menjadi malapetaka. Kondisi ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka penyakit masyarakat semisal pengangguran, kemiskinan, demoralisasi di masa depan.
Bagi bangsa sebesar dan seluas Indonesia, menjawab tantangan pembangunan manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya memang tidak sederhana. Inovasi pembenahan secara bertahap dan berkelanjutan, harus senantiasa digelorakan semangatnya. Hampir sama dengan semangatnya para pejuang kemerdekaan mengusir para penjajah, maka di era sekarang sektor pendidikan menjadi tumpuan utama dalam menghadapi perang pemikiran, termasuk perang ekonomi.
Guru dan semua pemerhati pendidikan memiliki tanggung jawab yang sama besarnya untuk bisa mengambil peran sebagai penerus tongkat estafet perjuangan dalam bentuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagi salah satu tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah nasionalisme pendidikan yang menjadi modal berharga bagi terciptanya generasi bangsa yang berdaulat dalam pemikiran, adil dan makmur.
Ilman Fatuh Rahman A.F
Guru dan Wakil Kepala SMPN 4 Cisarua Kabupaten Bandung Barat