Kolom

Menyoal Pergeseran Makna Negatif dan Positif

328
×

Menyoal Pergeseran Makna Negatif dan Positif

Sebarkan artikel ini
Menyoal Pergeseran Makna Negatif dan Positif

Hitungan hari lagi kita akan bertemu dengan tahun 2021. Adapun kalender disepanjang tahun ini, 2019, disebut-sebut paling singkat diantara ribuan tahun selama hitungan masehi berlaku, yaitu Januari-Pebruari-(Karantina)-Desember.

Sebutan karantina untuk mewakili sembilan bulan yang tak disebutkan merupakan wujud dari kekesalan banyak orang akan wabah yang melanda bumi ini. Ya. Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), penyebab pandemi yang saat ini terjadi, lalu kemudian kita akrab menyebutnya Covid-19.

Tidak ada pilihan bagi kita umat manusia untuk menerima kenyataan ini. Buat apa mengeluhkan keadaan yang berlaku global ini. Kekecewaan, rasa muak, jengkel dan segala macam kegundahan yang terjadi akibat Covid-19 ini tidak lantas menjadi hilang itu wabah. Jadi, syukurilah kondisi kita yang masih sehat dan bugar ini. Terimalah gaya hidup baru, memakai masker dan menjaga jarak.

Memang benar, semua yang terjadi saat ini harus kita sikapi dengan kepala dingin. Tapi, tidak lantas harus menggeser arti dari sebuah kosakata yang jelas berbeda maknanya. Maksud saya, kata yang malah konotasinya berganti peran setelah pandemi ini terjadi; Positif dan Negatif.

Siapa yang membantah jika dulu, makna positif itu adalah kebaikan. Semua yang mulia, yang harum, yang bermakna indah, akan disebut positif. Kutub positif dimaknai dengan arus gelombang yang mengarah pada kebaikan, sering disimbolkan dengan tangan kanan.

Dan negative tentu adalah sebaliknya. Perilaku yang konotasinya jahat, buruk, culas, menyusahkan orang lain bahkan condong ke jalur neraka, digeneralisasikan pada sebutan negative. Ya, negative. (-). Lambangnya seperti pengurangan dalam matematika, kebalikan dari penjumlahan (+).

Setelah delapan bulan berlalu, konotasi semacam ini menjadi berubah. Bagi saya dan saya yakin bagi banyak orang. Wabah pandemi Covid-19 menjadi yang paling berbahaya dan menyebabkan kematian itu telah mengancam banyak orang sehingga semua berharap, saat dites Covid-19, hasilnya negative.

“Alhamdulillah, Negatif.”
“Puji Tuhan, hasil tes PCR-ku negative.”
“Ya ampun, tetangga kita, ternyata postif.”

Ungkapan semacam itu menjadi mafhum dan jelas-jelas telah bergeser maknanya. Dan saya yakin, ini masih akan terus terjadi hingga 2021 dan mungkin hingga tahun-tahun berikutnya. Semua orang jadi berharap negatif.

Lucunya, kebanyakan orang tidak memahami detail bahwa mereka yang melakukan rapid test tidak lantas langsung positive dan negative kesimpulannya. Begini, saat orang di rapid tes, hasilnya misal reaktif. Nah, itu kan belum tentu menunjukkan seseorang positif Covid-19. Begitu juga sebaliknya, hasil rapid test non-reaktif belum tentu juga menunjukkan seseorang pasti negatif virus corona.

Meski saya bukan orang yang berlatar belakang pendidikan kesehatan, tapi sedikitnya tahu bahwa hasil rapid test Covid-19 reaktif atau mungkin banyak yang menyebutkan positif, bukanlah sebuah malapetaka. Rapid test itu hanya sebagai alat screening awal untuk mendeteksi Covid-19. Ingat, ini bukanlah penentu seseorang positif atau negatif corona.

Hmmm…. Tes ini dilakukan hanya untuk melihat keberadaan antibodi di dalam tubuh yang bisa menjadi dugaan awal bahwa seseorang positif Covid-19. Jadi, dibutuhkan setidaknya dua kali rapid test untuk memastikan keberadaan antibodi. Setelah itu, bisa jadi diperlukan swab test atau tes usap dengan metode polymerase chain reaction (PCR test) guna menegakkan diagnosis. Ceritanya akan bertambah panjang dengan rapid test antibody yang sedang digalakan pemerintah.

Kembali ke pergeseran makna positive dan negative tadi, mengapa maknanya harus bergeser ditengah masyarakat kita saat ini. Tetapkanlah dua kutub ini berada pada porosnya, jangan terpengaruh dengan keadaan pandemi yang tak bisa kita hindari. Jadi, positive itu tetaplah baik maknanya dan negative itu jelas buruk maknanya. Adapun hasil tes Covid-19, serahkanlah pada ahlinya.


Penulis: Fatria Meilani S. (Mahasiswi Ikom UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *