OPINI

Mahasiswa Santapan Empuk Kaum Fundamentalis

53
×

Mahasiswa Santapan Empuk Kaum Fundamentalis

Sebarkan artikel ini
Mahasiswa Santapan Empuk Kaum Fundamentalis
doknet

Tak sedikit orang menginginkan bisa duduk manis di bangku kuliah, kemudian lulus jadi sarjana kaum-kaum berdasi. Baik keinginan sendiri maupun keinginan dari orang tua.

Pernyataan ini didasari oleh fakta bahwa beratus ribu orang yang daftar SNPTN, SBMPTN maupun UM baik kampus negeri maupun swasta. Mereka tak kenal lelah saat gagal di salah satu jalur pendaftaran masuk kuliah. Mereka menunggu satu tahun pun tak jadi masalah asalkan bisa kuliah.

Tidak bisa dipungkiri dunia mahasiswa memang bergengsi ketika mampu lulus sesuai target dan mengamalkan ilmunya kepada masyarakat yang membutuhkan. Membanggakan kedua orang tua dan punya penghasilan. Tetapi tidak sedikit pula mahasiswa yang lulus dan menjadi pengangguran musiman, atau masuk aliran fundamentalis. Hal itu terjadi ketika mereka kurang dalam pemahaman, niat, dan kurang tepat diproses menuju tujuan.

Banyak kaum mahasiswa yang memanfaatkan dunia mahasiswanya bukan hanya untuk sekedar belajar, namun ada yang sambil kerja, bisnis, maupun menjadi aktivis. Tipe mahasiswa sangat beragam bergantung tujuan dan kebutuhan untuk diri masing-masing.

Dunia kampus sangat beragam kepercayaan dan pendapat baik yang berbeda agama maupun yang seagama. Maka dari itu, dunia mahasiswa sangat rawan akan pengaruh terhadap pergaulan, atau kepercayaan, begitulah kiranya sedikit pemahaman dalam buku yang berjudul “campus under cover”.

Yang disinggung disini adalah minimnya toleransi dalam dunia kampus terhadap perbedaan kepercayaan agama maupun perbedaan pendapat dalam seagama. Karena sedikit sekali mahasiswa yang paham akan indahnya perbedaan dan mampu bersikap toleransi. Sehingga intoleransi berkembangbiak dan istiqomah di kampus. Sebab terus di pupuk oleh orang-orang kaum fundamentalis.

Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh dalam artian ilmu dan agama haruslah beriringan. Ketika seseorang hanya terfokus pada pelajaran umum tanpa dibarengi dengan pemahaman agama, maka orang-orang ini menjadi santapan empuk kaum garis keras. Sehingga semakin banyaklah intoleransi di kampus. Begitu pula ketika seseorang hanya fokus di ilmu agama saja, dimana letak menyeimbangkan zamannya. Bukankah menurut Sayidina Ali RA juga orang yang baik adalah yang paham ilmu pada zamannya.

Mahasiswa polos seperti ini tidaklah sedikit, terbuai rayuan jenggot, lambaian kain menjuntai sampai tanah, terpesona celana cingkrang yang berkata masya Alloh menggoda. Tapi tipis toleransi terhadap yang berbeda, sedikit-sedikit kafir, sedikit-sedikit ahli neraka, sedikit-sedikit bid’ah. Tetapi tidak sedikit juga tipe atau gaya orang seperti di atas mampu bersikap toleransi terhadap perbedaan.

Minimnya toleransi di dunia kampus sangat berbahaya dimana kampus adalah miniatur negara dan mahasiswa sebagai agent of change. Ketika miniatur negara rakyatnya sudah tidak toleransi terhadap perbedaan, bagaimana ketika disuguhkan negara sebesar Indonesia dengan ratusan juta ribu rakyatnya.

Apakah akan berdiri kepemimpinan-kepemimpinan kecil dalam suatu negara dan terjadi perpecahan. Bukankah pada abad XVI kekaisaran Majapahit jatuh karena kekuatan pemersatu majapahit telah patah dan para gubernur pesisir telah memunggungi majapahit sehingga runtuh dan sendiri-sendiri, jadi raja-raja kecil, dan para orang tua hanya berani berbisik-bisik dengan sesama tua. Begitulah pemahaman yang didapat dalam buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul arus balik sebagai novel sejarah pasca kejayaan Nusantara abad XVI.

Peribahasa mengatakan” bahkan hari yang paling panjang pun pasti akan ada akhirnya”, dalam artian sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi. Perpecahan karena intoleransi suatu saat pasti akan sedikit reda. ketika semua orang mampu memahami perbedaan sebagai keberagaman bukan sebagai sumber perpecahan. Terutama di dunia mahasiwa yang di judge sebagai miniatur negara.

Mampu berusaha menyeimbangkan ilmu agama dan umum agar mampu menganalisis permasalahan yang menyangkut keduanya agar tidak salah bergaul. Begitu pula mampu mengembangkan toleransi akan perbedaan. Masuk kampus bukan hanya mencari jabatan atau gengsi semata tetapi memaksimalkan ilmu. Menebar kebaikan akan sesama manusia. Karena jabatan akan didapatkan ketika seseorang memiliki ilmu. Bukankah di dalam Al-Quran juga di sebutkan bahwa orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Alloh.
Wallohu’alam

Penulis: Sumiati, Mahasiswa Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *