Kolom

Jadilah Pembelajaran

115
×

Jadilah Pembelajaran

Sebarkan artikel ini
Jadilah Pembelajaran
Ilustrasi

Mang KemonSuguhan kopi sore itu awalnya nikmat. Terlebih topik yang saya bincangkan bersama Kang Yayat, Wakil Bupati Bandung Barat, seputar solusi atas berbagai problematika masyarakat. Hangat. Dan Semangat.

Rasa pahit yang tiba-tiba muncul tentu bukan karena kopi yang kami minum. Bukan sama sekali. Namun topik obrolan yang tiba-tiba membuat tenggorokan serasa menelan ludah kering.

Topik almamater pendidikan dengan basic kampus pendidikan awalnya menarik. Beliau memang alumni IKIP sekarang UPI dan saya dari FKIP. Ada pemeok menarik, senakal-nakalnya mahasiswa FKIP masih jauh lebih rapi dibandingkan orang teknik.

Memang demikian faktanya. Hehehe. Para calon guru sudah sejak masuk semester satu dibrainwash sebagai pendidik. Seperti amanatnya lagu “Hymne Guru” ciptaan Pak Sartono, menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk kehausan.

Namun diawal Februari ini malah muncul berita-berita amat menohok dan tajam menghujam hati. Setajam syilet. Sangat menyedihkan bagi dunia pendidikan. Kekerasan kembali lagi lagi dan lagi terjadi.

Kepergian almarhum Ahmad Budi Cahyono (26), seorang guru tidak tetap (GTT) seni rupa SMA 1 Torjun Kabupaten Sampang, yang diduga dilakukan oleh muridnya sendiri, tentu menjadi duka bagi semua pahlawan tanpa tanda jasa. Saat belajar mengajar, almarhum adupukul dengan siswanya.

Lalu pada malam harinya, di RSU dr Soetomo, guru Budi mengalami kritis dan didiagnosa mengalami “Mati batang otak.” tak lama kemudian, semua organnya tidak berfungsi. Sekitar pukul 21.40 WIB mangkat.

Dua hari berselang, berita viral di media sosial tentang kekerasan siswa pada sesama temannya muncul. Melalui video berdurasi pendek terlihat jelas, seorang siswa dikeroyok ramai-ramai tanpa ampun.

Disaat yang hampir bersamaan, video viral perilaku seorang siswa yang mengajak berkelahi pada kepala sekolahnya menjadi trending topik. Ah, kita tentu sepakat, keberanian sang anak ini bukanlah pada tempatnya.

Kasus semacam ini bukan yang pertama tentunya. Disejumlah search engine, tema kekerasan sesama siswa, guru kepada siswa dan siswa kepada guru amat sangat bejibun. Ada dimana-mana dan merata disemua tempat ada.

Hingga akhirnya, saya diingatkan oleh grup whatsap keluarga. Kebetulan dalam grup itu hampir 95 persen penghuninya berprofesi sebagai guru. Perbincangan menghangat, saat ada yang menceritakan pengalaman di sekolah siang tadi.

Kisahnya pendek. Di sebuah sekolah SD di Tasikmalaya, ada seorang murid yang rambutnya panjang. Sudah beberapa hari guru mengingatkan agar segera dipotong. Namun hingga lebih sepekan, rambut si anak masih panjang. Walhasil, guru berinisiatif memotongkan sendiri rambut muridnya.

Inisiatif guru ini ternyata tidak berkenan bagi keluarga si murid. Keesokan harinya, ada kakak dari murid itu protes ke sekolah. Sang Kakak yang merupakan sarjana dari Kota Bandung itu tidak terima adiknya dipotong rambut oleh gurunya dan mengancam akan melaporkan ke polisi.

Obrolan digrup whatsap terhenti dengan sebuah foto viral. Dalam image itu ada 4 orang guru memegang spanduk, isinya: “Orang tua yang tidak mau anaknya ditegur di sekolah, silahkan didik sendiri, buat sekolah, raport dan ijazah sendiri.”

Protes para guru ini menyentuh saya. Sebagai orang tua yang mempercayakan pendidikan anak pada sekolah, tentunya sudah seharusnya mendukung dan bekerjasama bersama sekolah menyukseskan pendidikan untuk anak.

Ah, nasehat dari Ibu Sud melalui lagu “Pergi Belajar” harus kembali direnungkan. Jadilah ornag tua pembelajar. Belajar dalam sekolah kehidupan. Pergilah belajar nak, jadilah murid budiman.

Oh, ibu dan ayah, selamat pagi
kupergi sekolah sampai kan nanti

Selamat belajar nak penuh semangat

Rajinlah selalu tentu kau dapat

Hormati gurumu sayangi teman
itulah tandanya kau murid budiman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *