Sebenarnya dibulan ini, Dzulqo’dah, sudah memasuki bulan haji setelah Syawal kemarin. Hingga puncaknya, yakni hari Arafah ditanggal 9 dan kemudian dilanjutkan dengan melontar jamarat tanggal 10, 11 dan 12.
Musim haji tahun ini menjadi sejarah dalam peradaban manusia, karena adanya pendemi Covid-19. Pelaksanaan ibadah haji tidak seperti tahun-tahun lalu, dua Kota Suci ramai didatangi jutaan manusia. Tahun ini berbeda, termasuk jemaah haji asal Indonesia yang ikut absen.
Meski tidak pergi ke tanah suci, kita wajib memuliakan salah satu bulan istimewa dalam agama Islam ini. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam Surat Al- Fajr ayat 1 dan 2, “Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh.”
FirmanNya ini menandakan betapa istimewanya malam yang sepuluh. Dan para ulama tafsir sepakat, bahwa yang dimaksudkan ayat itu adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Ada pula yang berpendapat, menyandingkan dengan dua bulan, berturut-turut ditanggal 10, yakni Dzulhijjah dan Muharram.
Memasuki tanggal 10 Dzulhijjah memang sangat istimewa bagi kaum muslimin yang sedang menunaikan haji. Mereka memasuki puncak haji, berbagai rukun dan wajib haji harus diselesaikan diwaktu tesebut hingga tiga hari kemudian.
Salah satu rukun haji atau umroh yang akan kita bahas adalah sa’i, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shofa dan Marwah. Iya, mereka yang melaksanakan ibadah haji atau umroh ini harus berlari-lari kecil di antara Shafa dan Marwah, sebanyak 7 kali. Jarak keduanya kisaran 450 meter.
Dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 158, Allah subhanahu wata’ala berfirman. “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”
Lari-lari kecil untuk jemaah haji yang memiliki kekuatan fisik tentu bukan masalah. Apalagi fasilitas di Mesjidil Haram sangat baik, sehingga tantangan gangguan faktor cuaca lantai untuk sai tidak akan menjadi masalah.
Sa’i merupakan napak tilas dari perjuangan Siti Hajar dulu yang tengah berjuang untuk putranya, nabiyullah Ismail yang saat itu masih bayi. Istri dari Nabiyullah Ibrahim ini harus menguatkan ikhtiar dan tawakal menghadapi ujian dari Allah Subhanahu wata’ala.
Jangan bayangkan kondisi Bukti Shafa dan Marwah seperti hari ini. Jaman Siti Hajar dulu, nyaris tidak ada manusia seorang pun. Mekah masih sangat sepi, padang pasir yang tandus, tidak ada air, pepohonan dan berbagai fasilitas kehidupan.
Kala itu, Siti Hajar hanya berdua dengan anaknya yang masih bayi. Sementara suaminya, Nabiyullah Ibrahim, diperintahkan oleh Allah Swt untuk pergi. Sebuah perintah yang sangat berat bagi seorang ayah dan suami.
Tapi perintah Allah adalah segalanya. Nabi Ibrahim lebih mendahulukan keimanan. Dan Siti Hajar pun ikhlas menghadapi kondisi ini, karena perintah Allah adalah segalanya.
Saat kondisi ini, Nabi Ibrahim pasrah. Doa’anya diabadikan dalam Alquran Surat Ibrahim ayat 37, Allah Swt berfirman,
“‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Bagaimana dengan kondisi Siti Hajar dan Nabi Ismail yang masih bayi? Disinilah pembuktian totalitas ikhtiar diperlihatkan. Seorang perempuan ditinggal sendirian ditengah padang pasir yang gersang, tandus dan tidak ada siapa pun.
Siti Hajar ikhtiar. Ia harus berjuang mempertahankan hidup Nabi Ismail. Bekal makanan habis. Asi yang dimilikinya juga kering. Maka tidak ada pilihan lain, dia harus melangkah ke luar, ikhtiar mencari air.
Siti Hajar mencari air dari bukti Shafa ke Marwah. Ia terus berlari, bolak balik, tidak peduli lagi dengan dahaga. Yang terpenting, dia ingin terus berikhtiar agar mendapatkan air.
Saya bisa membayangkan kondisi saat itu. Secara logika, air diantara padang pasir yang gersang dan tandus itu tidak mungkin ada. Sementara sang ibunda sudah tidak memiliki lagi bekal dan persediaan makanan, tanpa alas kaki dan tidak ada satupun manusia yang bisa dimintai pertolongan.
Kondisi kepasrahan yang total kepada Allah subhanahu wata’ala tidak lantas diam dan berpangku tangan. Siti hajar tetap berusaha disamping dia berharap hanya kepada Allah Swt. Dengan keyakinannya yang total, dia terus beralari-lari, panas, tanpa alas kaki, sebanyak tujuh kali bolak baliknya.
Apa yang terjadi kemudian? Ternyata Allah memperlihatkan mukjizatnya yang sangat mempesona. Air datang bukan dari rute Shafa dan Marwah tadi, melainkan dari hentakan kaki sang nabi. Bayi mungil yang darinya terlahir banyak nabi dan rasul yang menjadi kekasih-Nya.
Inilah awal mula air zamzam yang sampai sekarang airnya terus mengalir. Sudah ribuan tahun lamanya tidak pernah surut.
Rasululullah Muhammad Saw bersabda, “Zamzam adalah makanan (yang membangkitkan) selera, obat dari berbagai penyakit” (HR. Ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no. 459).
Inilah air terbaik yang Allah turunkan di dunia ini. Air yang sebenarnya memberikan pelajaran kepada seluruh umat manusia, tetaplah ikhitiar, optimis dan jangan pernah berhenti berusaha.
Spirit kisah ini harus jadi ibroh dimasa sekarang. Disaat menghadapi krisis ekonomi yang semakin menjadi, masa pendemi Covid-19 yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya dan sumber penghidupan yang semakin tidak menentu.
Keadaan kita hari ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kondisi Siti Hajar dulu. Masih banyak sarana, kesempatan, waktu, tenaga, kesehatan dan berbagai nikmat lainnya yang bisa kita maksimalkan untuk ikhtiar.
Kita hari ini hanya diwajibkan untuk berusaha. Hanya berusaha. Lalu berikutnya adalah bertawakal, menyerahkan urusan hasil hanya kepada-Nya. Dia-lah yang lebih tahu apa yang kita butuhkan.
Berusaha, berikhtiar dan terus optimis. Keluar rumah untuk mencari nafkah, menyalakan laptop untuk memulai pekerjaan dan atau membuat status di media sosial untuk berjualan.
Adapun urusan rezeki nanti kita tidak bisa menebak datangnya dari mana, bisa jadi dari pekerjaan yang sedang kita kerjakan, atau malah dari pintu lain. Kita tidak pernah tahu. Tugas kita hanya menjemput rezeki-Nya.