Jika sahabat berada di wilayah Priangan Timur, sesekali mampirlah ke kampung kami. Kampung Pasantren Desa/Kecamatan Pagerageung Kab.Tasikmalaya. Mencapainya tidak begitu sulit, dapat diakses dari jalur perlintasan jalan nasional, tepatnya ruas Gentong yang terkenal macet itu saat berita-berita arus mudik lebaran dimasa sebelum Covid-19 dulu.
Dari Gentong inilah rutenya tergambar mudah. Tanyakan saja Pagerageung, semua orang akan mengetahuinya. Lalu tanyakan pula Kampung Pasantren, InsyaAllah sebagian besar orang akan mengtehauinya pula.
Namun, jika sahabat menanyakan pertanyaan ini, saya dapat pastikan hanya sedikit atau bahkan banyak yang tidak tahu. Tanyakanlah, dimana Makam Mbah Jalalain.
Meski 100 persen warga disini beragama Islam, tapi sayangnya, mengetahui keberadaan makam itu tidak akan semuanya tahu. Padahal lokasinya ada di Kampung tersebut. Apakah penting makam ini? Tenang, bukan soal makamnya yang akan kita bahas.
Jangan salah sangka. Saya sedang tidak membahas tentang makam keramat, apalagi berburu manfaat setelah mengunjungi makam tertentu. Bukan itu maksud saya.
Baik. Urusan makam kita simpan. Mari berikan pertanyaannya sedikit mengganggu privasi. Tahukah anda Tafsir Jalalain? Jika tahu atau minimal pernah mendengarnya, coba tanyakan, pernahkah membacanya? Atau adakah yang hafal seluruh isinya?
Beberapa pertanyaan yang terakhir tadi saya kemukakan hanyalah gambaran dari ukuran keilmuan kita hari ini. Mari introspeksi, kita hari ini sedang dihadapkan pada minimnya pengetahuan keislaman yang dalam, spesifik, bersanad dan fokus mengaji. Sebagian besar kita hari ini, sudah merasa puas dengan pemahaman dan keilmuan yang ada, sehingga itu sudah dirasa cukup untuk modal menggapai keshalehan.
Adapun pertanyaan saya tentang makam Mbah Jalalain tadi hanyalah warning bagi kita yang masih hidup, bahwa beberapa dekade lalu, hiduplah seorang manusia yang mampu menghafalkan tafsir jalain. Jika hafal seluruh isi kitab tafsir, maka tentu Al-qur’an pun sudah diluar kepalanya.
Mbah Jalalain atau nama aslinya Kiai Irman tidak hidup dimasa yang jauh-jauh amat. Masih berada di akhir abad 19 barangkali. Anak keturunannya masih ada, mudah untuk ditemui dan sejumlah peninggalannya masih kokoh berdiri.
Ia bukan ulama yang hidup diabad lampau yang dekat dengan ulama tabi’in misalnya. Rentang hidupnya dengan jaman kita hari ini tidak jauh-jauh amat. Jadi menelusuri spiritnya tentu bukanlah sesuatu yang teramat rumit.
Sayang ingin sahabat membayangkan sesaat. Ada seorang ulama di perkampungan, dia hafal seluruh isi dari kitab Tafsir beberapa jlid yang dikarang oleh dua ulama besar dari Mesir, yakni Jalaludin Al Mahalli dan muridnya bernama Jalaluddin as Suyuthi.
Kitab tafsir yang rampung ditulis pada tahun 1505 masehi ini mengajarkan semangat literasi dan kontinyu alias istiqomah. Perjuangan seorang guru menulis kitab tafsir. Sang penulis pertama, Jalaludin Al Mahalli keburu wafat, lalu anak didiknya melanjutkan menulis tafsir ini hingga selesai.
Dari sekian banyak pesona Tafsir ini, saya ingin mengambil satu noktah saja. Yaitu tentang seorang ulama bernama Kiai Irman tadi yang pernah hidup di Kampung Pasantren Pagerageung.
Begini pesan yang ingin saya sampaikan, bayangkan dijaman yang tidak jauh dari kita hari ini, ada seorang ulama yang hafal kitab tafsir tersebut. Ini kampung, bukan daerah yang luas dan terkenal.
Lantas dijaman kita hari ini, adakah yang mampu demikian. Adakah kita hari ini, mau fokus mempelajari agama Islam dengan sangat dalam. adakah kita hari ini yang mau menukar waktu untuk belajar Islam lebih banyak daripada keperluan waktu kita untuk urusan keduniaan.
Jika di sebuah universitas ada banyak fakultas, jurusan dan program studi, kenapa saat mempelajari agama kita hari ini, tidak bisa fokus pada satu bidang misalnya. Mau lebih menusuk pertanyannya, dari sekian banyak disiplin keilmuan agama kita, apa yang sudah kita kuasai?
Ilmu tafsirnya? Hadisnya? Sirohnya? Fiqihnya? Atau cabang-cabang ilmu lainnya yang sangat banyak itu. Mana yang akan diperdalam untuk dibanggakan pada anak cucu kelak. Atau jangan-jangan, kita semua kompak untuk belajar secara general hingga kondisi jaman pun kompak, perlahan menghilangkan satu persatu ilmu seiring dengan berpulangnya para ulama.
Saya kira ini sangat penting. Prediksi ilmu-ilmu agama akan hilang ditelan jaman sangat masuk akal. Satu saja contohnya, ilmu tentang pembagian harta waris. Ilmu faraidh ini sudah jelas tertera dalam Alquran, sampai angka-angkanya detail disebutkan dalam ayat. Tapi sebagian besar kita tidak mengetahui detail bagaimana cara perhitungannya.
Yah, kita harus jujur pada diri sendiri. Pengetahuan kita pada pemahaman islam hanya mampu secara general. Kita akhirnya hanya bisa belajar lewat sarana internet atau kalau mau lebih serius, belajar pada satu ustadz dan kemudian tidak menerima kebenaran dari ustadz yang lain.
Kita harus mengakui bahwa ulama dulu sangat bersungguh-sungguh menggali cakrawala keilmuan agama tercinta ini. Dan sudah sewajarnya kita malu, bahwa kita hari ini yang dimudahkan dengan segala ilmu, tidak lagi memosisikan bahwa ilmu agama itu sangat berharga, lebih mulia dari dunia dan seisinya.
Tidak perlu jauh mencari pembandingnya. Mari lihat kitab tentang tata cara menuntut ilmu yang biasa dipakai para santri di pesantren,Kitab ta’limul muta’alim. Kitab yang tidak terlalu tebal itu menggambarkan betapa menuntut ilmu itu sangat utama.
Ada etika tata cara belajar yang harus dipakai, ada adab mengajar dan belajar, ada tata cara menuntut ilmu dan disampaikan pula motivasi agar menuntut ilmu itu harus siap dengan kerja keras, usaha total, penuh kesengsaraan, tekad baja dan harus mau menahan lapar dan menguragi jam tidur.
Ada lagi yang paling menampar saya dalam kitab pedagogik tersebut. Yakni sebuah kalimat yang berbunyi,
Ana ‘abdu man ‘allamani, walau harfan wahidan. Aku adalah hamba bagi siapapun bagi yang mengajarkan ilmu, walaupun itu hanya satu huruf.
Ilmu itu lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Orang yang memberikan ilmu itu harus dimuliakan. Apa jadinya manusia jika tak diridhoi gurunya. Pencari ilmu jaman dulu memosisikan diri lebih dari sekedar teachebel, bukan hanya pembelajar, tetapi menjadi budak dari guru-guru mereka.
Hasilnya memang terbukti. Para ulama jaman dulu sudah tidak aneh menguasai satu keilmuan tertentu dengan sangat dalam dan spesifik. Jalur keilmuanpun dikejar dengan penuh kesungguhan, bersanad dan menukarkan seluruh waktu mereka untuk mencari ilmu.
Akhir kata, semoga kita yang hidup dijaman yang serba mudah mendapatkan ilmu masih bisa mendapatkan keberkahannya. Masih bisa memiliki guru yang bersanad dengan keilmuannya yang bisa dipertanggungjawabkan dan tentunya kita semua masih mau belajar lagi. Mengorbankan waktu penting kita untuk mendapatkan ilmu.
Jangan lupa, sholeh saja itu berbahaya tanpa ada gurunya. Berbuat baik saja tidak cukup tanpa ada dasarnya. Dan, ibadah tanpa ilmunya tentu tidak akan diterima. Wallahu a’lam bishawab.