Kolom

Menyoal Kesiapan Sekolah Tatap Muka, Beginilah Ungkapan Tawati Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka

261
×

Menyoal Kesiapan Sekolah Tatap Muka, Beginilah Ungkapan Tawati Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka

Sebarkan artikel ini

MAJALENGKA (CM) – Dedi Supandi kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat mengatakan bahwa Provinsi Jawa Barat siap melaksanakan sekolah tatap muka mulai tahun ajaran baru. Ajaran baru di semester genap yang akan dimulai pada bulan Januari tahun 2021. Hal tersebut diungkapkan oleh Dedi Supandi selaku Dinas Pendidikan pada saat jumpa pers di Gedung Sate, hari Jumat, 18 Desember 2020. (Dikutip Portal Probolinggo.Pikiran Rakyat.Com).

Membuka sekolah di saat pandemi belum mereda haruskah? Pihak sekolah tentu bakal kerepotan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai protokol kesehatan sebagai syarat. Utamanya soal physical distancing yang mengharuskan kelas hanya terisi setengahnya. Tentu ini akan berimbas kepada kurikulum dan kinerja guru. Belum lagi jika ada siswa yang tidak mendapat izin orang tua belajar di sekolah. Maka pasti sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa-siswa tersebut. Pastinya, pekerjaan sekolah akan jauh lebih berat.

Beban berat juga bertambah karena pemerintah tidak juga mengeluarkan kurikulum darurat saat pandemi, baik untuk pembelajaran jarak jauh maupun belajar tatap muka saat pandemi. Guru kebingungan karena ketidakjelasan kurikulum dan metode pencapaiannya. Siswa dan orang tua sama galaunya. Meski siswa akan terobati kangennya untuk belajar di sekolah, namun mereka tetap was-was akan risiko penularan Covid-19 yang begitu cepat dan tak terduga. Kenapa pemerintah tidak menuntaskan dulu pandeminya, baru berpikir untuk membuka kembali sekolah tatap muka? Bukankah sangat besar risikonya?

Kebijakan sekolah tatap muka di tengah pandemi yang semakin menjadi adalah kebijakan ketidaktepatan pemerintah akibat kegagalan sistem pendidikan demokrasi-kapitalis-sekuler yang tak mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi juga gagalnya sistem demokrasi di dalam mengatasi pandemi. Sistem demokrasi kapitalisme membuat penguasa tidak mampu bertanggung jawab atas pengurusan terhadap rakyatnya.

Para penguasa sibuk berasyik masyuk dalam proyek-proyek artifisial tak jelas arah. Menanggulangi wabah di satu sisi, tapi membuka celah penyebarluasan di sisi lain. Proyek-proyek investasi, pembukaan destinasi-destinasi pariwisata, bahkan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi. Begitulah penguasa dalam sistem demokrasi.

Berharap solusi pada sistem rusak ini seperti mimpi di siang hari, karena sistem ini tegak di atas asas yang batil, berupa keyakinan bahwa manusia yang serba lemah yang berdaulat mengurus kehidupan. Wajar jika sistem hidup yang muncul dari sistem ini begitu sarat kepentingan, terutama kepentingan para pemilik modal yang visi hidupnya semata-mata ingin mencari keuntungan material.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Kepemimpinan di dalamnya menjadi sentral penyelesaian problem keumatan. Penguasa dalam Islam benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat, yang pertanggungjawabannya tak hanya berdimensi dunia saja, tapi juga berdimensi akhirat.

Penguasa Islam tak mungkin abai terhadap satu pun nyawa manusia. Sebagaimana sistem demokrasi kapitalisme neolib hari ini yang justru abai bahkan tega mengorbankan ratusan juta manusia. Penguasa Islam memegang amanah berat, mengurus umat dan menyejahterakan mereka. Yakni dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, dan papan. Juga kebutuhan publik mereka seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan.

Dalam situasi pandemi, Islam –yang terepresentasi dalam sistem Khilafah– menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka. Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.

Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah.

Inilah, mengapa sistem Khilafah menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab, ia menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia. Terlebih kebutuhan pendidikan, yang tak boleh terjeda oleh wabah. Prosesnya harus terus berjalan.

Beberapa gambaran sistem pendidikan Islam setidaknya bisa menginspirasi insan pendidik dan seluruh umat -termasuk penguasa- untuk menerapkannya pada kondisi serumit apapun, termasuk saat pandemi kini adalah:

Pertama, pendidikan haruslah diselenggarakan dengan landasan akidah Islam. Sekolah dan guru bahkan orang tua haruslah mendidik karena dorongan iman, yaitu melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendidikan pun harus ditujukan untuk menghasilkan output pendidikan yang berkepribadian Islam (pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan Islam). Artinya, peserta didik dipahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) ke-Islaman, di samping diajarkan ilmu-ilmu terapan (kimia, fisika, teknik, kedokteran, dan lain-lain) serta kecakapan hidup.

Di masa pandemi, landasan dan tujuan ini harus tetap dikuatkan. Terlebih, sejatinya manusia amat lemah untuk bisa mendapatkan jalan keluar dari pandemi, melainkan jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkenan memberi kemudahan. Maka pendidikan haruslah menguatkan takwa berupa ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara totalitas.

Kedua, kurikulum haruslah disusun mengikuti tujuan sahih tersebut. Negara harus menyusun materi pengajaran secara lengkap dan efektif sesuai jenjang usia. Bobot materi tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu terapan (umum) harus seimbang. Ilmu-ilmu yang mengasah kecakapan hidup pun harus selalu menyertai dalam rangka membentuk kepribadian Islam.

Apalagi di masa pandemi. Belajar, baik dengan tatap muka maupun jarak jauh, tetaplah akan dilakukan dengan senang hati. Guru akan berusaha kreatif menyajikan kurikulum secara baik. Siswa pun siap menerima ilmu. Inilah yang membedakan dengan proses pembelajaran selama ini. Kurikulum yang sangat padat serta nihil dari aspek ruhiyah tentu dirasakan sebagai beban.

Ketiga, metode pengajarannya harus sahih. Sejatinya, pendidikan tidak diselenggarakan untuk kemewahan (kekayaan) intelektual semata. Namun, untuk membentuk perilaku. Hal ini tentu sangat tergantung pada metode penyampaian ilmu.

Dalam Islam, metode pengajaran yang sahih berupa proses penyampaian pemikiran oleh guru dan penerimaan oleh siswa. Di dalamnya terjadi proses berpikir. Yakni, adanya penggambaran atas fakta (ilmu yang disampaikan) yang diberikan guru kepada siswa. Inilah yang dimaksud dengan proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasil memengaruhi perilaku.

Jadi, standar keberhasilan belajar bukanlah nilai. Namun, perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Ini pula yang membedakan asesmen belajar dalam sistem pendidikan saat ini. Sehingga, setiap guru harus memiliki kecakapan dalam metode pengajaran tersebut. Dalam kondisi pandemi prinsip ini tetap harus menjadi perhatian.

Keempat, menggunakan teknik dan sarana pengajaran yang sahih. Belajar tatap muka tentu berbeda tekniknya dengan jarak jauh. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk merealisasikan target pendidikan. Yang penting, teknik apa pun tidak boleh mengabaikan metode talqiyan fikriyan. Karenanya, yang dibutuhkan adalah kesabaran dan ketekunan guru dalam proses pengajaran, baik tatap muka maupun jarak jauh. Ketika tanggung jawab selalu diemban oleh setiap pendidik, maka proses pendidikan akan tetap produktif dengan segala dinamikanya.

Kelima, dukungan langsung dan sepenuhnya dari negara pada semua aspek termasuk anggaran. Hal ini agar setiap individu masyarakat terjamin hak pendidikannya pada semua kegiatan pembelajaran. Situasi pandemi memang lebih menguras tenaga dan biaya. Karenanya, harus diantisipasi oleh negara dengan memberikan model pembiayaan berbasis baitulmal. Baitulmal didesain untuk memiliki kemampuan finansial terbaik bagi berjalannya fungsi negara pada kondisi apapun.

Demikianlah, pendidikan di masa pandemi jelas membutuhkan perlakuan dan perhatian serius dari negara. Sebab, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Jika negara tidak menyiapkan segala yang dibutuhkan maka negara telah berlaku zalim, karena mengabaikan hak warga negaranya.

Semua prinsip di atas merupakan bagian integral dari penerapan syariah Islam secara kaffah. Karenanya, penerapannya membutuhkan kehadiran Khilafah. Sebab, Khilafah merupakan satu-satunya metode penerapan Islam.

Walhasil, kegalauan sekolah bisa teratasi jika saja negara menerapkan sistem pendidikan Islam dan menerapkan hukum Islam secara kaffah. Dengan kata lain, Khilafah memang menjadi kunci jawaban atas problem pendidikan di masa pandemi ini. Semoga hal ini menjadi pembelajaran terbaik untuk mengembalikan pengaturan hidup kita hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja. Wallahu a’lam bishshawab.

Biodata penulis

Nama: Tawati

Alamat: Majalengka

Aktivitas: Anggota kepenulisan Revowriter dan Member Writing Class With Hass (WCWH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *