Kolom

Mengapa Harus dari Sukapura ke Surakarta?

239
×

Mengapa Harus dari Sukapura ke Surakarta?

Sebarkan artikel ini

Yes. Mantap jiwa. Saya menulis catatan ini diawali dengan senyuman bangga ditambah sedikit mengernyitkan dahi. Ini tentang hubungan Tasikmalaya atau saya menyebutnya Sukapura dengan Solo dan kemudian saya sering menyebut Surakarta. Sukapura dan Surakarta memang mirip, tidak kebetulan dan berjodoh.

Pekan ini menjadi sangat bersejarah, karena tepat pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2018 pukul pukul 12.40 WIB, rute penerbangan domestik dari Tasikmalaya ke Kota Surakarta alias Solo resmi dibuka. Ditanggal itu, pesawat ATR 72/600 milik maskapai Wings Air ini sukses mengudara dari Bandara Wiriadinata mengangkut 54 penumpang yang isinya adalah Walikota dan para pejabat di Kota Santri.

Bandara Udara Internasional Adi Somarmo ini menjadi rute kedua setelah sebelumnya dianggap sukses dengan rute Jakarta via Bandara Halim Perdanakusuma. Oahem. Pertama adalah Sukapura-Jakarta dan berikutnya Sukapura -Surakarta. Hmmmmm mengapa kota kedua harus Surakarta?

Bayangkan, jarak kedua kota ini sekitar 365 km. Dengan moda burung terbang ini, cukup ditempuh dengan waktu satu jam saja. Bandingkan jika memakai kendaraan pribadi dan bis, jarak ini harus ditempuh sekitar 7-8 jam. Bila dengan kereta api sekitar 6 jam.

Dari segi ongkos juga tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Kata spanduk yang tertulis disekitar Bandara, harganya dikisaran Rp 400 ribu. Adapun ketika saya cek di aplikasi wisata, harganya hanya sekitar 300 ribu saja. Wadaw, Rp 300 ribu sama dengan 150 kali masuk WC umum. Meskipun memang, ongkos ini masih terbilang mahal jika dibandingkan dengan tarif kurir pengiriman barang, yang harganya ongkos kirim ekonomis sebesar Rp 17 ribu perkilogram atau sama dengan 8 setengah kali masuk WC umum.

Meski begitu, maskapai Wings Air tentu memiliki keputusan bisnis yang sangat matang, mengapa kota kampung halaman Preside Jokowi ini menjadi rute kedua setelah Jakarta. Namun bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang tidak ditakdirkan menyukai traveling, alasan tujuan penerbangan ke Surakarta ini tidaklah begitu menggiurkan.

“Mengapa tidak ke Surabaya sebagai kota besar, atau ke Palembang, Medan dan Bali. Atau kota-kota lainnya yang ada di Indonesia yang kerap menjadi destinasi wisata dan bisnis,” ungkap Karmudi, seorang tukang bakso yang sering berjualan keliling di wilayah Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (30/3/2018).

Saya tahu pernyataan Karmudi ini tidak memiliki kepentingan seperti halnya politikus yang mengaku negarawan. Bukan pula karena saingannya sesama tukang bakso banyak orang Solo. “Kang, ini bakso Sunda, bukan bakso Solo,” gumamnya saat saya tanya asal muasal bakso yang dia buat.

Saya yakin dengan ketulusan Karmudi. Adapun terkait keraguannya akan rute Tasikmalaya-Solo, tentu bukan karena saingannya yang para pedagang bakso solo itu. Hehe bukan. Karena kata Karmudi mantap, “Rezeki mah moal pahili,’ yang berarti, “Rezeki itu tidak akan tertukar.”

Sambil asyik melihat kelincahan dua tangan Karmudi, saya mengingat-ngingat ternyata memang di Tasik ini bakso Solo menjamur. Salah seorang diantaranya yang saya kenal adalah Mas Slamet, seorang partner bisnis saya dulu, dia adalah juragan Mie Ayam dan Bakso Solo. Mas Slamet yang orang Solo itu memang sukses membangun kerajaan bisnis bakso dibanyak titik wilayah Tasik Kota dan Kabupaten hingga Ciamis.

Tak hanya Mas Slamet, para pebisnis bakso asal Solo yang mencoba peruntungan di Tasik ini bejubel. Ada yang untung dan ramai baksonya, ada pula yang melempem seiring dengan kelangkaan bahan bakar gas melon 3 kg. Satu hal yang pasti, dengan satu hipotesa banyaknya tukang bakso Solo saja kiranya sudah cukup menyimpulkan alasan bahwa Wings Air tepat dengan keputusan.

Data lain akan mendukung Wings Air, salah satunya adalah di bumi Priangan Timur hingga Bandung Raya ini begitu banyak warga asal Solo. Sejumlah moda transportasi jurusan dari Bandung dan Tasikmalaya ke Kota Solo selalu penuh. Nama-nama kereta api, seperti Lodaya, Parahyangan, Argowilis, Mutiara Selatan, Kahuripan dan Malabar, banyak dimanfaatkan oleh warga Solo dan Tasikmalaya untuk hilir mudik. Diakhir pekan dan libur panjang, semua jenis transportasi darat itu bakalan penuh sesak.

Nah, menariknya, jika mengamati history ternyata antara Sukapura dan Surakarta ini memang memiliki ikatan emosional yang sangat dalam. Lebih dalam dan panjang dari Sungai Citarum dan Bengawan Solo. Lihatlah, bagaimana terbentuknya pemerintahan di Sukapura yang sejaman dengan kerajaan dan kebesaran Mataram di daerah Solo sana. Sukapura peride pertama ini berdiri sekitar tahun 1632 itu. Adapun menurut catatan banyak sumber, Tasikmalaya (tahun 1901) kini merupakan periode ketiga setelah Manonjaya (tahun 1829) periode kedua.

Bagaimana bisa Tasik ini mendapat julukan kota Santri? Saya meyakini, ada keterkaitan erat dengan gerakan kerajaan Islam dari Cirebon. Sunan Gunung Jati kala itu cukup intens berdakwah di wilayah Sunda khususnya Sukapura. Disaat yang sama, kesultanan Cirebon sendiri memiliki persahabatan yang sangat erat dengan kerajaan Mataram Islam di Kertasura hingga berpindah ke Surakarta. Banyak catatan yang berkisah tentang kedekatan dua pemerintahan ini.

Meskipun perkembangan kota Tasikmalaya dan Solo ini kalah jauh, namun keduanya memiliki karakter yang hampir sama dalam dunia pergerakan dan perjuangan. Ada tinta emas terukir jelas diantara kedua kota ini. Misalnya saja didunia kejurnalistikan, Solo menjadi kota sejarah lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pada tanggal 9 Februari 1946. Di balai pertemuan “Sono Suko” kala itu, wartawan, tokoh pers dan para penulis pejuang berkumpul dan bertemu. Sementara sekitar tahun itu, di Tasikmalaya juga tumbuh subur dunia literasi. Ada belasan surat kabar dan majalah terbit di Kota santri ini.

Jika Solo punya sejarah berdirinya organisasi wartawan dan kebangkitan pers, maka Tasikmalaya menjadi sejarah kebangkitan usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi. Iya, setiap tanggal 12 Juli yang merupakan hari Koperasi Nasional itu ternyata asal muasalnya adalah kongres koperasi pertama yangi digelar tanggal 12-14 Juli 1947. Jika boleh berbangga, kiranya hanya di Tasikmalaya Jalan Moh.Hatta tidak digabung dengan Soekarno. Dijalan inilah, tepatnya di nomor 63 Kelurahan Sukamanah Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya berdiri tugu Koperasi.

Surakarta dan Sukapura juga memiliki sisi lain sejarah. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan 1945-1949 dan pusat pemerintahan Indonesia di Jogjakarta, seorang pejuang bernama SM.Kartosoewirjo melihat kekosongan kekuasaan atas wilayah Jawa Barat. Ia pun memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949, di Cisayong Kabupaten Tasikmalaya. Dihari itu Konferensi Cisayong digelar hingga menghasilkan 7 butir tahapan perjuangan Islam.

SM.Kartosoewirjo sangat erat kaitannya dengan sosok Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Bersama dengan Soekarno, Semaun dan sejumlah aktivis pelajar lainnya, Kartosoewirjo belajar. Bersama gurunya itulah, dia menjadi penulis aktif dan agresif di Solo. Ia kritis terhadap pemerintahan penjajah hingga penentangan terhadap kaum bangsawan Jawa.

HOS Tjokroaminoto ini dikenal sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI). Dan Surakarta adalah Kota dimana SI lahir dan berkembang. Dikota inilah pernah diri institusi pendidikan yang disegani, yakni perguruan HOS Tjokroaminoto. Alhamdulillah, lewat sejarah SI dan HOS Tjokroaminoto ini, saya pun akhirnya mengenal Solo sebagai barometer pergerakan Indonesia dan Tasikmalaya adalah jalurnya.

Sebagai penutup tulisan ini, saya teringat dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang kemarin ramai diberitakan sakit dalam tahanannya. Kala itu tanggal 9 Agustus 2010 sekitar pukul 08.00 wib, Ustadz Abu telah mengisi pengajian di Tasikmalaya. Saat dia akan pulang ke Solo, tepatnya di kawasan Banjar Patroman Ciamis, Amir Jamaah Anshorut Tauhid ini ditangkap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *