TASIKMALAYA (CAMEON) – Hari ini kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahkan, kita sendiri mungkin ada dalam kabilah yang tertukar itu.
Rasanya, tempat semestinya untuk kepekaan moral kita sudah tertukar. Seharusnya ada di kiri malah di kanan. Semestinya ada di atas malah di bawah. Seperti cerita puteri yang terukar itu? Bisa jadi demikian.
Kepekaan rasa? Kepekaan sosial dan moral? Tertukar tempatnya? Bagaimana bisa? Argh, mungkinkah?
Mari kita buka hati kita sedikit saja. Tentang rasa yang sepertinya sudah berpindah posisinya. Contohnya sangat banyak. Mari kita kupas beberapa saja.
Ada yang menyebut, poligami adalah wahyu yang tak dirindukan. Sehinggga, membahasnya jadi tema pengajian adalah isu yang sangat sensitif. Bahkan, untuk dibicarakan dalam forum ilmu saja sepertinya perlu dijauhi.
Jika syariat ini membawa keburukan, mengapa manusia-manusia mulia yaitu para Anbiaya dan Muhammad Rasulullah Saw junjungan kita mengamalkannya? Jika ini tidak ada hikmahnya, mengapa para sahabat yang dijamin masuk surga yang mereka itu merupakan generasi terbaik, melakukan poligami?
Maaf. Saya sedang tidak membahas hukum poligami dan berbagai perdebatannya. Saya hanya mengajak pembaca untuk mengambil sudut pandang yang sama, bahwa poligami adalah bagian dari syariat Islam yang berasal dari Allah.
Tidak dipungkiri, bahwa syariat ini tidak dilarang. Malah, poligami ini diperbolehkan tapi dengan sejumlah syarat. Jadi boleh dan tidak dilarang. Titik. Tapi?
Oh, tidak ada tapi lagi. Begini, jika ada dua lelaki yang sama-sama shaleh, sama melakukan ibadah, sama beramal, pokoknya segala kebaikannya sama. Sama-sama ikhlas pula. Tapi ternyata ada satu yang beda, yaitu lelaki pertama istrinya satu dan lelaki kedua istrinya dua dan dia adil. Lantas, siapakah yang timbangan amalnya lebih berat?
Alasan itu memang tidaklah cukup. Tetap saja, orang yang mengamalkan poligami ini malah dicaci maki. Berbagai dalih bertemakan perasaan dan kemanusiaan keluar seperti bah. Cerita-cerita picisan mengenai korban taadud ini mengalir syahdu. Jadilah pemahaman, poligami adalah salah.
Inilah perasaan yang salah tempatnya yang saya maksud tadi. Padahal, jika hanya menuruti perasaan saja, rasanya akan sangat berat untuk bangun malam, jihad fisabilillah dan menafkahkan harta dijalanNya. Berat rasanya. Karena, rasa salah tempatnya.
Tapi apa lacur, orang yang mengamalkan ini malah dicaci maki. Berbagai dalih membawa perasaan dsn kemanusiaan keluar. Cerita-cerita picisan mengalir syahdu tanpa melihat hukum yang disebut Al Quran ini.
Sementara di tempat lain, praktek pelacuran sepertinya biasa. Tempat mesum, karaoke esek-esek dan pijat plus-plus disekitar kita dibiarkan saja. Sepertinya biasa dan tidak akan berdampak apa-apa pada kita.
Lihatlah di Kota Cimahi. Kota religius ini ada beberapa tempat pijat tak jauh dari Mesjid. Tengoklah di jalan Protokol kota Bandung, wanita penjaja syahwat yang menjijikan ini berjejer di pinggir jalan. Sekali lagi, ini biasa. Sementara poligami dihujat luar biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, rasa moral dan kepekaan sosial juga sepertinya sudah mati. Kita akan bebas tanpa dosa kala diangkot melihat sepasang anak sekolah sedang bermesraan. Baiklah, karena itu bukan keluarga kita. Akhirnya biasa walau sambil mengelus dada.
Kita juga sudah mulai terbiasa, jika di sudut jalan melihat anak-anak muda berkumpul yang aktivitas mereka kita yakini sedang mabuk-mabukan. Dan, kita benar-benar sudah biasa membiarkan anak kecil mengamen atau meminta uang setengah memaksa dilampu merah. Biasa.
Dulu, apabila kita menyaksikan bangkai binatang ditengah jalan, masyarakat terbirit-birit membawanya ke pinggir. Sebagian ada yang berinisiatif menguburkannya dengan suka rela.
Nah sekarang, ada bangkai ular, tikus bahkan bangkai kucing ditengah jalan, banyak dibiarkan. Pernah saya lewat, di tengah jalan raya ada bangkai yang sudah rata. Entah kapan hewan itu meregang nyawa. Jasadnya sudah bersatu dengan aspal. Biasa.
Dulu, kita akan begitu kaget ketika mendengar peristiwa kecelakaan apalagi memakan korban. Satu desa tahu dan menjadi pembicaraan. Pemakaman korban pun ramai diantar.
Kini, kita sudah sangat terbiasa dengan kabar tetangga yang sejatinya dulu akan sangat heboh. Seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, kecelakaan, bahkan hamil diluar nikah. Biasa.
Begitu banyak rasa yang tertukar dan mungkin mati. Ironisnya, kita dibuat memilih, seperti sebuah kebenaran padahal kesalahan. Seperti putih padahal hitam.
Asupan opini ikut membawa peran dalam pemahaman. Misalnya, kasus penistaan agama dan perusak kebinekaan dibuat abu-abu, lalu orang-orang diposisikan bingung akan berada dipihak yang mana. Pembenaran yang selangit menjadikan dua kubu punya kebenaran masing-masing.
Padahal, kebenaran itu tidak bisa abu-abu. Mau di kiri atau di kanan. Mau hak atau batil. Pilih surga atau neraka. Pilih iman atau kufur. Tegas.
Bagaimana dengan kepekaan pemimpin kita? Bagaimana dengan Presiden kita? Pembaca sudah bisa menilai, seperti apa rasa dan kepekaan beliau kala menghadapi demo ummat Islam dalam aksi damai 411 kemarin.
Akhir kata, saya ingin berbagi hikmah setelah sharing banyak dengan Pakar Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Yesmil Anwar. Kala itu beliau sedang sakit, namun dengan ceria dan suara serak beliau masih menerima wawancara saya hingga berjam-jam.
Dalam sharing kami, terbersit ucapan yang menohok. Tentang Pemimpin barokah. Kata dia, model pemimpin inilah yang akan membawa ketegasan, membangun mental malu dan kepekaan rasa.
“Saya berkali-kali meminta ini kepada pembimbing haji yang akan melakukan khutbah di Arafah, doakan pemimpin negeri ini. Doakan agar jadi pemimpin barokah,” katanya.
Pendapat Yesmil ini memang diluar nalar disiplin keilmuan hukum. Kala itu memang sedang tidak membahas aksi damai kemarin, namun ia berkali-kali menyebut bahwa problematika bangsa saat ini solusinya adalah pemimpin barokah.
Kemudian ada kutipan kalimat dari Imam Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata, “Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki doa yang mustajab (yang dikabulkan), maka aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.”
Lalu, ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.”
Apa untungnya jika pemimpin baik? Tentu besar. Misalnya, kita berdoa agar selepas kuliah langsung dapat pekerjaan. Justru, dengan pemimpin yang baik itulah, lahan pekerjaan akan mudah didapat.
Permasalahan lain pun, pangkalnya pada pemimpin. Berdoa ingin berangkat haji dengan tepat, itu akan terwujud jika pemimpinnya melalui menteri Agama amanah. “Doa untuk pribadi bisa terwujud apabila pemimpinnya barokah,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, pempimpin bermakna dalam artian luas. Seorang ayah menjadi pemimpin bagi keluarga, kepala desa bagi masyarakatnya, dan diri sendiri juga adalah bagian dari seorang pemimpin.
Itu kuncinya, memaafkan dan mendoakan pimpinan. Semoga mereka lebih baik, lebih jujur, lebih lembut hatinya dan lebih barokah. “Pemimpin barokah bisa tercipta jika memohon pada-Nya. Maka dari itu, mari mendoakan pemimpin kita,” ajaknya.