Rabu (19/10/2016) kemarin, pesan elektronik dari salah seorang aktivis mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengingatkan saya pada nusantara. Iya, saya nyaris lupa bahwa Kamis (20/10) ini adalah tepat dua tahun Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin Republik Indonesia.
Mahasiswa yang kirim pesan itu, yang sejujurnya saya serasa melihat diri sendiri sewindu lalu itu, mengirimkan sejumlah bahan rilis tentang rencana aksi Aliansi BEM Seluruh Indonesia yang akan menyampaikan sikap dalam momentum 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK.
Isinya memang padat. Aksi mereka adalah suara rakyat, untuk mengevaluasi, mengkontempelasi, menagih, mendesak, serta menuntut janji-janji pemerintah yang tertuang dalam visi misi serta cita-cita dan tujuan negara.
Saya melihat, langkah mereka beralasan. Mahasiswa membeberkan data dan fakta. Bukan sekedar omongan komentar para lawan politik yang pendapatnya abu-abu.
Menjelang siang, sang mahasiswa yang mengirim pesan ke saya, mengabarkan laporan lapangan. “Perwakilan kami sedang bertemu dengan Pak Teten Masduki,” katanya.
Menjelang magrib,nada mahasiswa ini sedih. Info dia, aksi ini sepi dari pemberitaan dan isu. “Padahal aksi kita sudah jadi trending topic ketiga di twitter. Kita juga sempat chaos berkali-kali,” imbuh dia.
Memasuki tengah malam, Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia Ketua BEM UNJ Bagus Tito Wibisono mengirim rilis. Ia membeberkan kekecewaannya pada Jokowi-JK.
“Masa aksi yang tidak diperbolehkan menuju ke depan istana, alhasil terjadi penumpukan di Medan Merdeka barat sehingga lalu lintas harus ditutup,” kata Bagus.
Ketika aksi, ada harapan mereka bertemu dengan presiden. Namun, sebanyak 15 perwakilan mahasiswa diterima Kepala Staf Kepresidenan. Dalam dialog, pembahasan isu tidak maksimal.
BEM SI mendesak untuk bertemu presiden. Kepala staff presiden tidak mengijinkan. Padahal, jalur birokratis dan administratif resmi sudah dijalankan sesuai prosedur, namun presiden masih enggan menemui mahasiswa.
“Kepala Staf Kepresidenan juga menolak untuk menemui masa aksi untuk memberikan klarifikasi mengapa presiden tidak mau menemui mahasiswa.”
Lucunya, Teten Masduki yang jadi kepala staff kepresidenan itu, yang mantan aktivis mahasiwa itu, seolah cuek. “Itu urusan anda,” kata Teten.
Pertemuan itu tidak lancar. Perwakilan mahasiswa _walk out_ dari forum dengan luapan kekesalan. Di luar, masa aksi sudah menunggu kehadiran mereka.
Mahasiswa melakukan penyembelihan ayam, yang darahnya di teteskan diatas foto besar Jokowi-Jk, kemudian bangkai ayam dilempar ke istana. Begitu pula dengan aksi pelepasan tikus-tikus, yang menandakan penegakan hukum yang lemah serta masih dipeliharanya koruptor di Indonesia.
Dalam aksi, terjadi peristiwa pemukulan terhadap masa yang tidak membawa senjata dan tidak melakukan perlawanan. Terdata, 2 orang mengalami bocor kepala akibat hal tersebut.
“Menjelang selesai, BEM SI melakukan pembakaran kepada topeng serta foto Jokowi-Jk sebagai bentuk matinya hati nurani presiden dan mosi tidak percaya terhadap presiden.”
Aksi ditutup dengan sholat berjamaah di jalan perjuangan dan dilanjut dengan pembacaan sumpah mahasiswa Indonesia. Sebagai follow up aksi hari ini, BEM SI mengusung tanda pagar #JokowiSombong dan #PresidenHilang.
Saat mengetik tulisan ini, hari Kamis (20/10) sudah habis. Dini hari yang dingin di Bandung malah membuat dada saya sesak, ada banyak air liur yang rasanya menyakitkan kala ditelan.
Entahlah, saya tak tau apa sebabnya. Yang pasti, bukan karena keseruan berita mahasiswa itu yang malah sepi di lapangan. Bukan pula ramainya berita tentang ancaman terorisme dan penyerangan oknum polisi di Tangerang pakai golok. Bukan!
Saya tiba-tiba kangen dengan sosok Prabowo Subianto. Tidak. Saya tidak berpikir seandainya begitu mungkin Prabowo begini. Saya hanya rindu dengan sikap kenegarawanannya dan mungkin dia sudah menyiapkan diri menjadi yang terlupakan.
Kata-kata terlupakan ini, saya teringat kalimat dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr. Ialah istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya, perempuan briliant ini mengucapkan kalimat menyentuh kala sakit mendera dan tak lama lagi husnul khatimah menjemputnya. Kala itu, suhu politik juga tengah memanas disertai fitnah. Mungkin seperti sekarang di Indonesia.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata saat ditengok Ibnu Abbas. ”Ah,sudahlah. Tinggalkan aku wahai Ibnu Abbas. Demi Allah, aku sungguh berharap seandainya aku ini menjadi sesuatu yang terlupakan saja.”
Aisyah tetaplah sosok yang yang tak terlupakan. Perempuan berparas cantik berkulit putih, sang Humaira yang kemerah-merahan dan sekaligus cerdas ini memang tak ada duanya.
Selain menjadi istri dan banyak menyampaikan risalah, ia selalu setia mendampingi setiap episode perjuangam Rasulullah. Beratnya medan dakwah terasa ringan karena didampingi Aisyah.
Meski Aisyah mengatakan “biar jadi yang terlupakan,” tapi faktanya dia menjadi penyambung lidah Rasulullah. Ia tercatat sebagai yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih dan kesehatan, dan bahkan syair.
Dilihat dari nama, Aisyah ini memang sangat cocok untuk anak perempuan. Aisyah dalam bahasa Arab dan Prancis, artinya Kehidupan. Aisyah dalam bahasa Indonesia artinya gadis cantik.
Saya suka nama ini. Izinkanlah, untuk mengibaratkan bangsa ini seperti Aisyah. Jadi, selain ibu pertiwi, ada ungkapan lain untuk menggambarkan bangsa. Aisyah; kehidupan, anggun, cantik, mempesona dan cerdas.
Saya berharap, agar pemimpin kita tak hanya memperlakukan bangsa ini sebagai Ibu pertiwi yang sudah tua dan mudah diakali. Perlakukanlah bangsa ini seperti Aisyah atau perempuan cantik nan cerdas yang harus dijaga dan dimuliakan serta memiliki harapan besar.
Dan, ada perpaduan kata yang layak disandingkan dengan Aisyah. Yakni, Izzah dan Muna. Izzah adalah kesuciaan atau kemuliaan. Dan Muna adalah kekuatan dan harapan.
Lengkaplah, ada Aisyah Izzatul Muna. Disanalah kehidupan, perempuan yang cerdas dan cantik serta memiliki kemuliaan dan harapan. Bangsa ini, jika diibaratkan seperti ini, tentu sangat mempesona. Melengkapi Ibu pertiwi yang santun dan bijaksana.
Jadi, dalam 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK ini, apakah perlu mereka meminta maaf pada Aisyah Izzatul Muna? Saya rasa para pemimpin bangsa tidak tahu. Biarlah saya sendiri yang meminta maaf.