Quote menarik dikatakan Rocky Gerung, Sepi itu adalah bunyi yang sembunyi.
Hari Nyepi yang dirayakan sebagian saudara kita harus dihormati. Sekaligus kita bisa belajar banyak dari mereka. Bagaimana mereka meniadakan sementara kebisingan, merenung, merefleski diri, mematikan kendaraan, listrik dan internet.
Tidak beraktivitas dengan menahan diri dari keseharian yang banyak menghamburkan energi. Fakta nyata penghematan sumber daya. Berapa juta liter BBM berhasil di hemat, tak terhitung pelestarian lingkungan karena selama nyepi ini banyak tungku dapur tidak ngebul dan listrik tidak mengalir.
Satu hal yang bisa kita pelajari dari hari raya saudara kita adalah tentang sepi. Iya. Tentang diam dan bermesraan dengan diri sendiri dan sang pencipta. Sepi adalah cara kita mengenal diri sendiri, dan orang yang telah mengenal diri sendiri akan mengenal tuhannya.
Dalam setiap persimpangan sejarah, para pembaharu akan melalui masa-masa menyepi. Beragam bentuknya, ada yang mendekam didalam penjara, ada yang berada dalam perut ikan, ada yang di dalam sumur, ada pula yang berada di gua.
Tentu kemampuan kita menyendiri, tak sehebat para sufi yang mendefinisikan khalwat sebagai kebutuhan. Imam An-nawawi mengatakan, “Khalwat adalah kebutuhan orang-orang shaleh dan hamba-hamba Allah yang arif.”
Dalam ajaran islam, menyepi untuk diri sering disebut dengan khalwat. Bahkan, tradisi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara khalwat ini menjadi hal wajib bagi sebagian sufistik.
Khalwat adalah bagian proses yang harus dilalui oleh sufi. Tokoh besar dan karya besar hampir tidak ada yang terlahir dari proses khalwat (menyepi), taubat, mujahadah, zuhud dan atau riyadhoh. Mereka merenung dan bertafakur.
Orang yang sudah menjalani proses ini akan mengenal diri dengan baik. Perilakunya akan semakin baik, tahu kapan saatnya bicara dan kapan saatnya diam.
Begitulah. Semuanya tentang sepi, diam dan hening. Tentang ketenangan dan tiada suara. Tentang sendiri dan refleksi. Juga tentang kerinduan pada harapan agar jadi kenyataan.
Hadirin, para pembaca budiman. Sesekali kita perlu menyepi. Mendengarkan suara hati. Tanpa terganggu oleh bisingnya dunia. Hingar bingar rebutan kekuasaan, penghidupan dan uang.
Menyepi berbeda dengan kesepian. Orang yang menyepi sering berada di keramaian. Ia menyengajakan diri untuk sepi. Sementara orang yang kesepian sedang berada dalam kehampaan. Orang kesepian tidak mau berada dalam sepi.
Menutup tulisan ini, saya ingin menceritakan dialog dua insan, seorang lelaki dengan perempuan impiannya.
Saat itu hujan besar. Keduanya sedang di mabuk asmara. Namun jarak memisahkan.
“Aa, pernah mendengar suara hujan?” tanya si perempuan.
“Pernah. Itu suara yang biasa kita dengar kan kalo hujan turun.” jawab si lelaki dengan penuh percaya diri.
“Bukan, a. Itu bukan suara hujan. Itu suara air menyentuh benda saat turun ke bumi. Suara bulir air yang menimpa pohon akan berbeda dengan yang menimpa genting.
Pun ketika air hujan menyentuh kolam akan berbeda suaranya ketika menyentuh tanah. Air hujan yang jatuh ke sawah akan berbeda dengan air yang jatuh ke jalan aspal.
Aa, dengarkanlah suaranya. Pejamkan mata aa. Dengarkan dengan seksama seperti apa suara hujan itu.
Air hujan itu tanda keikhlasan. Ia manut pada apa pun yang ada di bawahnya. Ia jatuh dan kemudian mengikuti arus kemanapun pergi.
Aa. Cobalan ke luar. Tengadahkan wajah ke langit, rasakan suara hujan yang jatuh menimpa mata, hidung dan kening.
Aa. Jatuhku yang paling gaduh adalah ketika jauh darimu. Sepi yang mati adalah ketika jauh dari matamu.
Saat sepi, aku hanya bisa berdiam. Aa harus menyengajakan sepi. Sebentar saja. Peka mendengarkan nurani, betapa aku tersiksa jauh darimu.”