Dalam dua pekan terakhir, clue “orang gila” disejumlah search engine menampilkan kabar kekerasan dan berpotensi sara. Kesimpulan yang muncul dari benak saya selaku konsumen berita adalah, penderita psikotik berbahaya, penjahat dan perusak tatanan kerukunan ummat beragama.
Sejumlah judul bombastis berada dihalaman pertama. Misalnya, “Orang Gila Dihajar Massa.” Orang Gila Dituduh PKI,” “Jaga Ulama, Amankan Tempat Ibadah dari Orang Gila,” Orang Gila Aniaya Kiai Pesantren Alhikamussalafiyah.” “Orang Gila Dimassa Karena Dituduh PKI.” Ahay, judul-judul berita orang gila mampu bersaing menjadi headline bersama topik Pilkada serentak, OTT kepala daerah oleh KPK dan bahkan Revisi UU MD3 di Senayan.
Tidak hanya di media online yang menampilkan informasi ini, orang gila masih bertengger menjadi topik utama di sejumlah media sosial, facebook dan twitter. Bahkan pengguna aplikasi pesan whatsapp yang punya menu baru status, teman-teman kontak saya banyak yang memasang status berkaitan dengan isu ini. Kira-kira kesimpulannya begini, “Lindungi ulama dan tempat ibadah dari orang gila.”
Sulit dibantah memang. Isu orang gila yang meneror ulama, jemaah pejuang subuh berjamah dan tempat ibadah ini adalah fakta dan serempak disetiap daerah. Sepanjang Kamis (15/2/2018) ini saja, setidaknya saya mencatat ada 3 daerah di jawa Barat yang mendapatkan teror ini. Mulai dari Subuh tadi di Cianjur yang menerima teror bagi jemaah, lalu menjelang siang ada teror terhadap dua Pesantren di Tasikmalaya dan Cirebon.
Beberapa hari yang lalu, kabar serupa datang dari Pandeglang dan beberapa daerah lain di Banten. Sebelumnya, kabar heboh hingga membuat seorang Ustadz Wafat dan seorang luka-luka terhadi di Bandung. Semakin panas kabar ini, karena berseliweran pula berita fakta, semi-hoax dan hoax tentang teror orang gila. Pesan broadcast tentang menjaga kewaspadaan datang silih berganti dengan redaksi dan lokasi yang berbeda-beda.
Reaksi atas kabar ini disambut aparat kepolisian dengan menggelar razia. Pendataan dan pengamanan terhadap mereka dilakukan dimana-mana. Bahkan dibeberapa tempat, kegiatan siskamling dan siaga santri sudah efektif sejak dua pekan lalu. Semuanya sudah satu komando, jika ada orang gila atau orang yang pura-pura gila langsung amankan saja!
Jauh sebelum kabar tentang teror orang gila berhembus, saya pribadi termasuk yang memiliki perhatian besar terhadap orang gila ini. Bukan klaim. Sejak kuliah saya memang memiliki perhatian khusus pada mereka, terutama sejak saya bersahabat dengan seorang teman yang memilki family menderita gangguan jiwa. Ibu mertua dan adik iparnya menderita ini. Alhamdulillah, ibunya berhasil sembuh namun adiknya hilang sampai sekarang.
Bersama teman saya itu, dulu, pernah kami keliling ke berbagai tempat mencari adiknya. Mengahmpiri berbagai tempat dan mengamati setiap manusia yang compang camping dipinggir jalan. Miris sekali. Pernah suatu malam, teman saya senggukan sambil menyeka air mata didepan sebuah toko yang tutup. Kami membawa tiga bungkus nasi uduk, satu untuk saya, teman saya itu dan seorang orang gila yang awalnya dikira adalah adiknya. Rasanya malam itu, nasi uduk yang kami nikmati adalah nasi ternikmat disaat udara Bandung dingin menggigit.
Saya beryukur karena ditakdirkan dekat dengan kehidupan orang gila. Ditahun 2005, saya pernah hidupan di Pondok Yatim dan Dhuafa Alfurqon Cisarua Kabupaten Bandung Barat (KBB). Lokasi pondok itu tidak jauh dari RSJ Cisarua miliknya Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Setiap pagi, sore atau hari libur, lapangan sepak bola di rumah sakit itu sering dipakai masyarakat. Setidaknya dari kejauah saya dapat melihat sejumlah pasien yang sedang berjemur atau sekedar duduk-duduk.
Bersentuhan dengan orang gila semakin dekat saat saya tinggal di Cimahi, tetangga rumah saya adalah penderita gangguan jiwa. Meski begitu, keluarganya sangat penyayang. Beliau diobati, rutin kontrol ke dokter dan telaten memberikan theraphy. Terakhir saya bersilaturahmi ke sana diakhir 2017, tetangga saya sudah sembuh dan beraktivitas dengan normal.
Melihat mereka lebih dekat, sejatinya orang-orang yang disebut penderita gangguan jiwa ini sangat layak untuk disayangi. Kondisi acuh tak acuh masyarakat kerap menyebkan penderita semakin parah. Justru sepengetahuan saya ketika bersentuhan dengan mereka, kepedulian manusia yang berpredikat normal terhadap mereka akan mempercepat kesembuhan. Jika penderita gangguan jiwa dimanusiakan, maka peluang mereka untuk sembuh teramat besar.
Lantas, jika sekarang isu orang gila ini telah menyeramkan, siapa yang akan peduli pada mereka. Sedangkan jika melihat data, jumlah penderita gangguan kejiwaan ini sangat besar. Melihat prosentase real saja, di Kota Cimahi yang punya penduduk sekitar 600 ribu orang, jika diakumulasikan penderita gangguan jiwa mencapai 1.902 orang. Angka ini bisa menjadi perbandingan di daerah-daerah lain yang angkanya cukup tinggi. Maka dengan adanya kasus ini, apakah mereka semua akan diamankan?
Konstitusi negara sebenarnya memberikan perhatian besar pada mereka. Dalam tujuan kesehatan nasional saja, tanda derajat kesehatan yang optimal adalah terciptanya kondisi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya berperilaku hidup dengan lingkungan yang sehat, sesuai dengan definisi kesehatan menurut WHO. Nah, menurut WHO itu kesehatan meliputi fisik, mental dan sosial.
Sebagai warga negara, orang-orang gila bisa memiliki hak suara jika coba menafsirkan Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2012 tentang Pemilu Presiden.Mereka yang berusia 17 tahun atau sudah menikah tentunya masih diakui warga negara tanpa ada pengecualian gila dalam konstitusi.
Akhirnya, kabar mengenai orang gila telah membawa kita semua pada perhatian pada mereka. Dulu, mungkin kita kurang peka ketika melihat orang gila yang kerap ditemui di pinggir jalan, di lorong jembatan dan disudut perkampungan. Kini, kita bisa sadar bahwa hidup di bumi ini bersama banyak tipe manusia, mereka yang mengaku normal dan tidak normal.
Berita orang gila sudah kadung kita terima. Tidak perlu banyak berdebat, apakah percaya atau tidak bahwa perilaku teror itu murni mereka. Marilah kita mengutip perkataan Rocky Gerung dalam acara ILC bersama Karni Ilyas. “Jadi, kalau ada orang gila beroperasi, pasti ada orang yang lebih gila lagi yang mengendalikan orang gila itu.”