News

Pemblokiran Situs Harus Dapat Diuji di Pengadilan

147
×

Pemblokiran Situs Harus Dapat Diuji di Pengadilan

Sebarkan artikel ini
Pemblokiran Situs Harus Dapat Diuji di Pengadilan

JAKARTA, (CAMEON) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan mekanisme pengujian atas kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Sebab, saat ini Kemenkominfo telah memblokir 11 situs yang diduga mengandung konten Suku, Agama, dan Ras (SARA).

AJI Indonesia juga menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati kaidah-kaidah pelaksanaan kebebasan berekspresi. Hal itu diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Konvenan Sipil dan Politik.

Sebelumnya, pada Kamis 11(3/11) lalu, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo telah berkirim surat kepada sejumlah Internet Service Provider (ISP). Di mana meminta 11 situs tersebut diblokir sementara. Kesebelas situs tersebut di antaranya, Lemahirengmedia.com; portalpiyungan.com; suara-islam.com; smstauhid.com; beritaislam24h.com; bersatupos.com; pos-metro.com; jurnalmuslim.com; media-nkri.net; lontaranews.com; dan nusanews.com.

Ketua AJI Indonesia, Suwarjono menyatakan, akan selalu memperjuangkan kebebasan pers dan mengawal kebebasan setiap warga negara untuk berekspresi. “Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan berekspresi harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang diatur DUHAM maupun Konvenan Sipil dan Politik,” kata Suwarjono dalam siaran pers yang diterima oleh CAMEON, Jumat (4/11).

Dia menjelaskan, pada pasal 19 DUHAM menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat tanpa mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Sementara Pasal 19 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan Pelaksanaan hak-hak untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Serta harus dibatasi demi memastikan penghormatan hak atau nama baik orang lain. Di mana untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

“Lebih jauh lagi, Pasal 20 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan  bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum,” ungkapnya.

Pada pasal itu, lanjut dia, menyatakan segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.

Suwarjono menyatakan karena medium internet yang bersifat seketika dan tanpa batas-batas,misalnya batas geografis maka pembatasan sebagai pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik memang boleh diberlakukan seketika.

Misalnya dengan melakukan blokir terhadap situs-situs yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

“Akan tetapi, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif,” kata Suwarjono.

“Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa,” imbuhnya.

Lebih jauh, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho mengatakan, selama pemerintah dan aturan hukum tidak merumuskan mekanisme uji pengadilan maka segala macam bentuk pemblokiran berpotensi melanggar kebebasan warga negara untuk berekspresi.

“Mekanisme pengujian pengadilan atas keputusan pemerintah meminta ISP memblokir akses 11 situs harus dilakukan secepat-cepatnya, untuk memastikan hak warga negara memperoleh informasi tidak dilanggar,” kata Iman.

AJI Indonesia juga menyerukan kepada semua pihak untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. “AJI Indonesia menolak segala macam anjuran kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Pelaksanaan kebebasan berekspresi yang melanggar prinsip Konvenan Sipil dan Politik harus diproses hukum,” tegas Iman D Nugroho. (Putri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *