News

Para Tokoh Angkat Bicara: Pemimpin Tasik Wajib Jadi Teladan Utama dalam Menjunjung Adab

114
×

Para Tokoh Angkat Bicara: Pemimpin Tasik Wajib Jadi Teladan Utama dalam Menjunjung Adab

Sebarkan artikel ini
Tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya saat pengundian nomor urut di Pilkada 2024

KAB. TASIK (CM) – Peristiwa mengejutkan yang mencoreng pesta demokrasi di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terjadi pada momen yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan kompetisi sehat.

Dua pasangan calon bupati beserta pendukung mereka secara tiba-tiba meninggalkan ruangan saat giliran pasangan lain menyampaikan visi dan misinya, menciptakan suasana tak nyaman dan mengundang perhatian banyak pihak.

Kejadian ini berlangsung pada acara deklarasi damai pemilihan kepala daerah, yang digelar setelah rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya, Senin, 23 September lalu.

Di tengah acara yang dilaksanakan di Gedung Islamic Center, Singaparna, suasana mendadak berubah saat Pasangan Calon Nomor Urut 1, Iwan Saputra-Dede Muksir Aly, serta Pasangan Nomor Urut 2, Cecep Nurul Yakin-Asep Sopari Alayubi, beserta pendukung mereka, keluar meninggalkan ruangan.

Momen ini bertepatan dengan giliran Pasangan Calon Nomor Urut 3, Ade Sugianto-Iip Miftahul Paoz, yang bersiap menyampaikan pidato politik. Hasilnya, hanya pendukung nomor urut 3 yang tersisa, sementara kursi yang sebelumnya diduduki oleh pendukung pasangan nomor urut 1 dan 2 tampak kosong.

Tindakan ini langsung menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk Maulana Jannah, seorang pengamat politik di Kabupaten Tasikmalaya.

Baca Juga: Aksi Tak Terduga di Pleno KPU Kabupaten Tasikmalaya, Paslon Tinggalkan Acara, Kursi Kosong Jadi Sorotan!

Menurut Maulana, tindakan meninggalkan ruangan saat giliran pasangan lain berbicara sangat tidak etis dan memberikan contoh buruk kepada masyarakat.

“Terlepas dari ketidaksukaan terhadap lawan politik, seharusnya mereka tetap memberi ruang dan mendengarkan visi misi yang disampaikan. Ini adalah bagian dari pendidikan politik yang santun,” ungkap Maulana dengan tegas.

Ia juga menambahkan bahwa peristiwa ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap proses demokrasi yang difasilitasi oleh KPU.

“Ini bukan hanya soal etika, tapi juga tentang memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Meninggalkan acara di tengah berlangsungnya sesi resmi seperti ini seolah menunjukkan sikap yang tidak menghargai proses demokrasi itu sendiri,” jelasnya.

Tak hanya Maulana, kritik tajam juga datang dari Basuki Rahmat, seorang akademisi sekaligus mantan Anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Menurut Basuki, akhlak dan etika jauh lebih penting dibandingkan sekadar penguasaan ilmu pengetahuan.

“Adab adalah fondasi penting dalam menjalin hubungan sosial yang harmonis. Pemimpin yang mengedepankan adab akan mampu menghargai dan mendengarkan orang lain,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pemimpin yang baik harus menjadi teladan dalam segala aspek, termasuk bagaimana mereka bersikap di hadapan publik.

Di tengah sorotan tajam terhadap peristiwa ini, KH Atam Rustam, Ketua PC NU Kabupaten Tasikmalaya, juga menyuarakan keprihatinannya.

Ulama kharismatik ini mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tindakan seperti ini dapat memicu ketegangan dan membentuk persepsi negatif terhadap Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya.

“Apa pun alasannya, ini akan memberikan dampak buruk. Saya berharap masyarakat tidak terpancing oleh kejadian ini. Para calon harus tetap bersaing secara elegan, tanpa memprovokasi emosi publik,” tegas KH Atam Rustam.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua FKUB Kabupaten Tasikmalaya, KH Edeng Za, yang mengajak masyarakat untuk tetap menjaga persatuan dan kerukunan meskipun berada dalam atmosfer persaingan politik.

“Siapa pun pilihannya, yang terpenting adalah masyarakat tetap bersatu dan menjaga kerukunan. Demokrasi harus ditampilkan dengan santun, tanpa saling serang atau menjelekkan,” ucap KH Edeng Za penuh harap.

Dengan kejadian ini, masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya diingatkan bahwa Pilkada seharusnya menjadi ajang yang mendidik, bukan malah menciptakan jurang perpecahan.

Sikap saling menghormati dan adab yang baik harus dijunjung tinggi, terutama oleh mereka yang bercita-cita memimpin daerah ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *