News

“Menteri Satu Hari” Bahas Perkawinan Usia Anak

467
×

“Menteri Satu Hari” Bahas Perkawinan Usia Anak

Sebarkan artikel ini
"Menteri Satu Hari" Bahas Perkawinan Usia Anak

BANDUNG, (CAMEON) – Apa jadinya jika anak muda yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) menjadi seorang Menteri? Boleh jadi ini pengalaman yang sangat mengesankan dan mungkin saja tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Namanya Nabila Ishma Nurhabibah. Dia adalah anak muda asal Kota Bandung yang
kini tercatat sebagai salah satu siswi SMA Negeri 1 Bandung.

Nabila begitu biasa disapa, saat itu, ia mengikuti kompetisi video blog nasional “Sehari Menjadi Menteri”. Acara ini digelar oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional, Plan Internasional.

Dari sekitar 600 anak yang mendaftar, terpilihlah 22 anak se-Indonesia. Salah satunya adalah, Nabila. Mereka yang lolos, nantinya akan mengikuti kegiatan Sehari Menjadi Menteri, baik di KemenPPPA maupun di Kemnaker. Saat itu, Nabila mengikuti video blog dengan tema “Yuk, bijak pakai internet”.

Setelah melewati proses karantina dan pembekalan, seluruh finalis melaksanakan tugasnya sebagai Menteri dan jabatan lainnya dalam satu hari. Saat itu, Nabila terpilih menjadi Deputi Perlindungan Hak Perempuan. Dari hasil rapat pimpinan tentang perkawinan usia anak, menghasilkan delapan rekomendasi untuk Menteri PPPA.

“Beberapa teman saya ada terpilih menjadi menteri, sekretaris menteri, staf ahli, Kabag Humas dan lainnya,” ucap dara kelahiran 2001 ini.

Bak seorang menteri sungguhan, Nabila bersama 10 orang lainnya yang lolos di ajang tersebut, dijemput dari hotel menuju kantor KemenPPA dengan menggunakan mobil menteri. Sesampainya di lokasi, mereka masuk ke ruang pimpinan dan disambut oleh menteri yang sebenarnya juga staff.

Dikatakan Nabila, mengingat ia menjabat sebagai Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam satu hari, ia membahas mengenai perkawinan usia anak di bawah 18 tahun. Beberapa hal yang ia bahas saat itu ialah, indikator, dampak yang didapatkan oleh anak perempuan yang terlanjur kawin di usia anak, dampak calon anak, dampak bagi anak, hingga solusi yang diperlukannya. “Nanti hasilnya kita berikan ke menterinya langsung,” ucap siswa alumni SMPN 7 Bandung ini.

Menurut dia, perkawinan usia anak bukan masalah yang sepele. Angka perkawinan usia anak setiap tahunnya akan terus bertambah jika tidak dilakukan pencegahan. Artinya, akan semakin banyak anak perempuan yang menanggung risiko dan akibat perkawinan usia anak.

Anak perempuan lanjut dia, memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Anak perempuan harus menanggung berbagai macam akibat seperti putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, depresi, bahkan hingga kematian akibat belum siapnya mengandung dan melahirkan.

“Ini harus menjadi satu perhatian utama. Karena tidak dapat di lupakan bahwa, walaupun sudah kawin, mereka tetap anak dan artinya tetap memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak lain tanpa diskriminasi,” imbuhnya.

Seluruh hak anak lambat laun akan terenggut. Mereka tidak bisa melanjutkan sekolah. Berbicara tentang risiko terhadap anak perempuan, maka anak yang akan dilahirkan hasil dari perkawinan usia anak akan merasakan juga akibatnya baik dalam segi pendidikan, kesehatan, bahkan anak ini juga memiliki risiko tinggi untuk dikawninkan di usia anak kelak. Maka dari itu, permasalahan ini seperti roda yang berputar. Dan perlu mendapat perhatian utama.

“Ketika saya membahas isu itu, respon dari Deputinya luar biasa, mereka senang. Perasaan saya sangat senang sekali, jadi menteri  Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak memang cita-cita saya dari SD kelas 5, dan sekarang kesampaian meskipun hanya satu hari. Ini seperti mimpi bagi saya,” paparnya.

Dia menyebutkan, untuk mendukung program pemerintah dalam hal mengurangi perkawinan anak yakni, sebagai anak muda harus menjadi pelopor dan palapor. Pelopor kata dia, mempelopori berkurangnya perkawinan usia anak. Cara termudah dengan belajar giat karena jika anak-anak belajar 12 tahun, maka angka perkawinan anak akan turun 64%. Selain itu dengan mengajak teman terdekat dan melindunginya dengan aksi cari tahu, dekati, empati, forum (CDEF).

Sementara untuk pelapor, melapori kepada lembaga terkait bila ada anak yang mendapat risiko perkawinaan usia anak.

“Harapan saya sih paling utama seluruh anak Indonesia bisa lebih sadar tentang perlindungan anak dan perempuan, karena percuma kalau pemerintah membuat program tapi masyarakatnya tidak mendukung. Selain itu dapat bekerjasama secara aktif baik dengan pemerintah kota maupun pemerintah provinsi untuk menyosialisasikan tentang pernikahan usia anak ini,” pungkasnya. (Kky)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *