KOTA BANDUNG (CM) – Mahasiswa Universita Pendidikan Indonesia (UPI) menggelar aksi tentang kurangnya demokrasi di wilayah kampus tersebut. Aksi berlangsung di gedung rektorat UPI, Jl. Dr. Setiabudhi, Bandung, Selasa (11/12/2018).
“Kami menyayangkan adanya intervensi dari pihak rektorat beserta jajarannya dalam proses demokrasi mahasiswa di UPI. Karena sebagaimana tercantum di Kepmendikbud No 155 /U/1998 Pasal 2 yang berbunyi ‘Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa’, maka rektor beserta jajarannya tidak punya kewenangan untuk mengintervensi proses politik yang sedang dilakukan oleh mahasiswa UPI,” ungkap Dini, selaku Menteri Kominfo BEM Rema UPI.
“Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Maka dari itu wajar apabila terjadi protes dari pihak mahasiswa,” tegasnya. Sementara, Pimpinan Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (MPM, DPM, dan BEM Rema UPI) mewakili Mahasiswa UPI mengaku kecewa dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor: 11980/UN40.RI/KM/2018 tentang Pemilihan Umum Republik Mahasiswa (Rema) Universitas Pendidikan Indonesia yang ditandatangani oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan.
Poin pertama pada Surat Edaran tersebut, jelasnya, yaitu menghentikan sementara semua tahapan pemilu Rema di lingkungan UPI sampai waktu yang belum ditentukan. Menurutnya, surat itu dibuat tanpa diskusi dan koordinasi terlebih dahulu dengan pihaknya selaku stakeholder organisasi kemahasiswaan tingkat universitas, dan juga yang bertanggung jawab terhadap proses Pemilu. Hal demikian disebut-sebut menjadi bukti bahwa keputusan tersebut sepihak tanpa menghargai pimpinan Rema UPI dan Mahasiswa UPI yang lain pada umumnya.
Mereka juga menyebut, dalam berorganisasi di kemahasiswaan memiliki peraturan dan undang-undang yang berlaku yang dirumuskan oleh Mahasiswa. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden BEM Rema UPI sudah punya undang-undang sendiri, yaitu Undang-undang Nomor 02 tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden BEM Rema UPI. Dalam UU tersebut pada pasal 1 ayat 5 dijelaskan bahwa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Diterangkannya bahwa BEM Rema UPI adalah sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa dalam berdemokrasi di Rema UPI. Adanya surat edaran yang dikeluarkan tersebut, lanjut ia, menjadi bukti bahwa UPI tidak menghargai kedaulatan demokrasi mahasiswa dan sangat mengintervensi aktivitas kemahasiswaan, yang sudah jelas terdapat peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi pasal 2 dijelaskan bahwa “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada Mahasiswa”. “Kalau kita cermati poin ini, tentu Surat Edaran tersebut telah mencederai keputusan menteri, sangat tidak memberikan peranan dan keleluasaan kepada mahasiswa dan sangat otoriter,” tuturnya.
Dalam Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa tujuan dikeluarkan surat edaran untuk menjaga kondusifitas kegiatan kemahasiswaan di lingkungan UPI. Padahal, fakta di lapangan pemilu Rema UPI sejauh pegamatannya telah berlangsung sesuai aturan yang berlaku. Dibuktikan dengan belum adanya laporan pelanggaran pemilu kepada Dewan Pengawas Pemilihan Umum (DPPU). Adapun yang menyebabkan ketidakkondusifan pemilu Rema UPI adalah adanya oknum yang tidak bertanggung jawab yang menyebabkan ketegangan antar mahasiswa.
Bahkan sampai adanya pemukulan dan pengeroyokan kepada Ketua Pelaksana Teknis Pemilihan Umum (PTPU) sehingga mengalami luka-luka, dan dengan kejadian pengeroyokan kepada ketua PTPU tersebut mengindikasikan UPI tidak dapat memberikan keamanan dan kenyaman kepada mahasiswanya dalam beraktivitas di lingkungan UPI.
Menurut ia, selayaknya UPI memberikan sanksi kepada pelaku pengeroyokan tersebut tanpa harus memberhentikan tahapan pemilu yang sudah berjalan cukup panjang dan tidak melanggar peraturan pemilu. “Kami juga mendapatkan laporan ada beberapa fakultas yang dekanatnya tidak memberikan izin penggunaan fakultas untuk kegiatan kampanye dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan berbagai alasan, sehingga membatasi mahasiswa di fakultas tersebut untuk mengetahui visi misi dan juga gagasan pasangan calon presiden dan wakil presiden BEM Rema UPI 2019 secara langsung,” sebutnya.
Kemudian juga, terindikasi melanggar hak politik setiap mahasiswa dalam menyalurkan suaranya dalam memilih calon pemimpin bagi mahasiswa, karena banyak mahasiswa yang kebingungan untuk mencoblos, dikarenakan tidak ada TPS di fakultasnya, padahal mereka mempunyai hak untuk memilih Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden BEM Rema UPI. Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa di kampus UPI masih terdapat oknum anti demokrasi yang membatas hak politik Mahasiswa untuk menikmati proses demokrasi mahasiswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, seluruh stakeholder dari MPM, DPM dan BEM Rema UPI, dengan tegas menyampaikan beberapa tuntutan kepada Rektor UPI:
Pertama, : Rektor harus menghentikan setiap intervensi birokrat kepada aktivitas kemahasiswaan dan mencabut Surat Edaran Wakil Rektor bidang Akademik dan
Kemahasiswaan Nomor: 11980/UN40.RI/KM/2018 Tentang Pemilihan Umum Republik Mahasiswa (Rema) Universitas Pendidikan Indonesia. Kedua : Rektor harus memberikan dan menjamin keamanan dan kenyaman kepada setiap mahasiswa dalam beraktivitas di lingkungan UPI. Ketiga : Rektor harus menjamin dan memfasilitasi kebebasan serta kedaulatan setiap hak demokrasi Mahasiswa UPI. Keempat : Rektor harus menegakkan keadilan kepada setiap mahasiswa UPI dan memberikan sanksi kepada siapapun pelaku kriminal di lingkungan UPI agar tidak terulang kembali. (Intan)