KOTA TASIK (CM) – Penanganan terhadap penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya tampaknya masih kurang mendapat perhatian maksimal dari Pemerintah Kota. Seolah-olah, pemerintah hanya bergantung pada dukungan pusat dan sektor swasta, bahkan soal database pun terkesan tidak jelas.
PLT Kepala Dinas Sosial Kota Tasikmalaya, Wawan Gunawan, mengungkapkan bahwa pihaknya melakukan pendekatan bertahap kepada perusahaan-perusahaan yang bersedia mengakomodir warga disabilitas. Selain itu, beberapa penyandang disabilitas juga diarahkan ke Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Kementerian Sosial untuk dibina dan dilatih.
“Contohnya Arsida, seorang disabilitas berprestasi. Kami mengarahkan dia untuk mengikuti berbagai pelatihan yang sesuai dengan bakat dan talentanya,” ungkap Wawan usai menghadiri pelantikan anggota DPRD Kota Tasikmalaya, Selasa, 03 September 2024.
Setiap hari Rabu, melalui program Tasik Bageur, Dinas Sosial juga mendata bakat warga disabilitas. “Kami inventarisir bakat-bakat mereka, lalu berkoordinasi dengan STPL Kemensos terkait pengembangan kompetensi serta kebutuhan dasar seperti sandang dan pangan,” jelas Wawan.
Saat ditanya soal ketidakhadirannya dalam acara PD Aisiyah Kota Tasikmalaya, Wawan menjelaskan bahwa dirinya tengah mengikuti Rakornas Stunting. “Saya sudah berdiskusi dengan Sekdis dan Kabid untuk menghadiri acara tersebut dan memberikan support yang diperlukan,” katanya.
Baca Juga: Dukungan H. Murjani, Siapa Kandidat yang Akan Menang di Pilkada Tasikmalaya?
Namun, terkait database penyandang disabilitas, Wawan enggan memberikan pernyataan lebih rinci. “Soal angka pastinya, kami masih melihat dari data yang ada. Saya tidak ingin berspekulasi tanpa kepastian berapa jumlah yang sudah kami arahkan ke pelatihan,” jelasnya.
Di sisi lain, Harniwan Obech, seorang pegiat sosial dari Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas), menyoroti pentingnya penanganan disabilitas yang komprehensif dan berkelanjutan. Menurutnya, basis data yang akurat sangat penting untuk merancang program yang efektif.
“Jika data disabilitas saja belum ada, bagaimana bisa merencanakan program yang tepat? Tanpa database, program-program yang ada pasti tidak maksimal,” tegasnya.
Harniwan juga menekankan bahwa Dinas Sosial sebenarnya memiliki jaringan mitra kerja yang bisa dioptimalkan, seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), TKSK, dan Karang Taruna hingga tingkat kelurahan dan RT/RW. Namun, menurutnya, pemanfaatan jaringan ini belum maksimal.
“Masih ada PSM yang tidak tahu jumlah penyandang disabilitas di wilayahnya, bahkan ada difabel yang belum memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), padahal Kota Tasikmalaya sudah menerapkan Universal Health Coverage (UHC),” ungkap Harniwan.
Selain kritik soal data, Harniwan menekankan pentingnya peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam membangun kepercayaan diri dan kemandirian penyandang disabilitas.
“Membangun kepercayaan diri dan kemandirian penyandang disabilitas tidak mudah. Diperlukan peran aktif keluarga, masyarakat, dan tentu saja pemerintah,” tambahnya.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya, Harniwan menegaskan perlunya masukan dari berbagai pihak. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan layanan yang komprehensif dan berkelanjutan. Namun, tanpa data yang akurat dan koordinasi yang baik, program-program yang dirancang mungkin tidak akan berjalan efektif.
“Dengan pendekatan strategis yang berbasis data, diharapkan Kota Tasikmalaya bisa menjadi kota inklusif bagi semua warganya, termasuk mereka yang menyandang disabilitas,” tutup Harniwan.