KOTA TASIK (CM) – Sebuah pertunjukan budaya yang mengesankan berhasil diselenggarakan di Mall Transmart, Racabango, Bungursari, Kota Tasikmalaya, pada tanggal 10 September 2024.
Acara yang diberi nama Pasanggiri Pinton Anggon Kabaya Sunda Sinjang Tasikan ini menjadi pusat perhatian para pecinta budaya serta masyarakat Tasikmalaya. Di antara para peserta, tiga guru dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Tasikmalaya berhasil memukau ratusan penonton dengan mengenakan pakaian tradisional kebaya dan sinjang khas Tasikmalaya.
Ketiga guru tersebut, yakni Vera Hermawati, S.Pd, Arin Juliana, S.Pd, dan Wita Tri Melani, S.E., ikut ambil bagian dalam kompetisi yang diinisiasi oleh organisasi Pasundan Istri Tasikmalaya.
Penampilan mereka mendapat sambutan meriah dari para penonton, mencerminkan kebanggaan masyarakat atas upaya melestarikan kebudayaan Sunda, khususnya kebaya dan sinjang Tasikan.
Tata Tajudin, Kepala Sekolah SLB Insan Sejahtera yang juga merupakan warga Kampung Ciroyom, Cigeureung, Cipedes, Kota Tasikmalaya, menegaskan pentingnya acara ini. Tata, yang juga mengirimkan ketiga guru tersebut untuk berpartisipasi, menyatakan,
“Kami mendukung penuh kegiatan ini sebagai upaya melestarikan budaya lokal. Selain itu, kami juga ingin memperkenalkan keberadaan SLB sebagai bagian dari langkah menjadikan Kota Tasikmalaya sebagai Kota Inklusi.”
Kebaya dan Sinjang: Warisan Budaya yang Perlu Dijaga
Kebaya, atau yang dalam bahasa Sunda dikenal sebagai kabaya, bukan sekadar pakaian tradisional. Ia merepresentasikan identitas budaya yang sarat dengan motif dan corak khas. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kebaya dan kain sinjang semakin jarang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Tasikmalaya.
Padahal, kebaya dan sinjang memiliki nilai sejarah dan kebijaksanaan lokal yang sangat tinggi dalam tradisi Sunda.
Ketua Pasundan Istri Kota Tasikmalaya, Dra Hj Elin Herlina M.Pd, yang turut hadir dalam acara tersebut, menyampaikan bahwa acara ini merupakan bagian dari usaha untuk mempertahankan budaya Sunda, terutama kain kebaya bordir dan sinjang batik Tasikmalaya.
“Gelaran ini adalah salah satu langkah untuk menjaga kelestarian budaya, khususnya kebaya bordir dan sinjang khas Tasik. Sayangnya, penggunaan kebaya dan sinjang semakin jarang terlihat, bahkan dalam acara-acara formal seperti pernikahan, apalagi dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Elin Herlina.
Ia juga menambahkan bahwa batik Tasikmalaya memiliki ciri khas yang menonjol, baik dari warna yang lebih cerah maupun motif-motifnya yang beragam seperti motif merak ngibing dan lereng. Ciri khas ini perlu dilestarikan di tengah gempuran modernisasi.
Peserta dan Harapan Pelestarian Budaya
Acara Pasanggiri Pinton Anggon Kabaya Sunda Sinjang Tasikan ini diikuti oleh 43 peserta yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari perajin kebaya hingga masyarakat umum.
Kegiatan ini juga merupakan bagian dari perayaan Hari Jadi Kota Tasikmalaya ke-23, yang bertujuan untuk mengangkat kembali budaya lokal sekaligus memperkenalkan produk-produk budaya Tasikmalaya kepada masyarakat yang lebih luas.
Elin berharap, melalui pasanggiri ini, Pasundan Istri bisa terus berinovasi, bersinergi, serta berkolaborasi dalam membangun masyarakat Kota Tasikmalaya yang lebih adil dan makmur. Ia juga menekankan pentingnya regenerasi dalam upaya pelestarian budaya lokal agar para perajin kebaya dan sinjang batik Tasikmalaya tetap bisa bertahan dan berkembang.
“Budaya lokal kita harus tetap terjaga, jangan sampai hilang,” tegas Elin.
Tantangan Pelestarian Kebaya dan Sinjang
Tata Tajudin juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi oleh para perajin kain sinjang batik di Tasikmalaya. Menurutnya, semakin sedikit masyarakat yang tertarik mengenakan kebaya dan sinjang sebagai bagian dari busana sehari-hari.
Karena itu, kegiatan seperti Pasanggiri ini sangat penting dalam menghidupkan kembali kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian budaya.
“Kami berharap, dengan adanya acara ini, masyarakat kembali mengenal dan mencintai budaya kita. Kebaya dan sinjang tidak hanya menjadi pakaian adat, tapi juga identitas budaya yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang,” ungkap Tata.
SLB dan Peran dalam Melestarikan Budaya
Keterlibatan tiga guru SLB dalam acara Pasanggiri ini juga menjadi sorotan khusus. Selain menunjukkan bahwa dunia pendidikan turut andil dalam melestarikan budaya, mereka juga ingin memperkenalkan sekolah inklusi kepada khalayak luas.
SLB di Kota Tasikmalaya tidak hanya berfokus pada pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan yang mendukung perkembangan kota, termasuk pelestarian budaya.
Dengan adanya acara ini, Kota Tasikmalaya semakin memperkuat dirinya sebagai kota yang inklusif dan peduli terhadap pelestarian nilai-nilai budaya lokal. Pagelaran Pasanggiri Pinton Anggon Kabaya Sunda Sinjang Tasikan menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal masih hidup dan dihargai di tengah arus modernisasi.
Acara ini menjadi wadah penting untuk menghidupkan kembali kebaya dan sinjang di Kota Tasikmalaya. Dengan partisipasi 43 peserta, termasuk tiga guru SLB, acara ini diharapkan mampu menginspirasi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan warisan budaya. Kebaya dan sinjang tidak hanya sekadar pakaian adat, tetapi juga simbol identitas dan warisan yang harus dijaga agar tidak punah di masa depan.