BANDUNG, (CAMEON) – Tujuh seniman muda Kota Bandung gelar pameran seni rupa dengan mengambil tema kesenjangan. Di mana dua di antaranya merupakan mahasiswa Unikom.
Pameran tersebut yang digelar sampai tanggal 18 Juni tersebut sukses menggambar kesenjangan dari berbagai sisi. Tiga orang seniman berhasil menggambarkan secara visual menghasilkan karya abstrak.
Di antaranya, Haris Mochammad memberi judul karyanya tiga titik nol. Pada karya Haris dia menggambarkan sebuah aktifitas ambang sadarnya. Lalu, Dian Loeis memberikan judul pada karyanya feminism maskulin.
Di mana pada karya Dian, lebih cenderung Nietzschea. Dan, Amalia Nurbayti yang hanya melukis pada 1000 kertas dengan ukuran kecil. Gambar tersebut menggambarkan sebuah kegelisahan tentang perasaan manusia.
Lalu dua orang seniman berkarya melalui medium foto, yaitu Saiful Iman dan Ricky Adin. Pada karya Ricky dia mencoba menampilkan dan menganalisi foto dari berbagai tingkatan sosial dalam entitas manusia Indonesia.
Lalu, pada foto Syaiful Iman yang diberi nama teman menjadi bermakna dengan menampilkan sekitar 20 foto. Akan tetapi empat buah poto dibingkai dengan rapi yang diartikan sebagai anak rumahan.
Sedangkan, foto yang lainnya dibiarkan berserakan di luar bingkai diartikan sebagai anak yang hidup di jalan. Pada foto-foto anak yang hidup di jalan, wajah mereka terdapat banyak ekspresi
Lalu dari sisi lainnya karya Esa Apriliansyah yang menampilkan teknik art drawing yang berada pada kutub medium tradisional seni rupa. Dalam karyanya, dia mencoba mengelaborasikan gagasan tempolaritas melalui pointilis.
Terakhir pada karya Dudi Hanrika yang mencoba medium baru yaitu olah bunyi dan ruangan. Pada karyanya dia menampilkan pengalaman ketakutannya yang berupa metafisika.
Menurut salah satu seniman, Harris Mochmmad, pameran yang bernama “Kolektif Orange: The Fuition” dimaknai sebagai upaya awal guna sebelum pengakuan kesenian disematkan pada para perupa muda di Bandung.
“Kata Orange adalah permainan-permainan kata yang terinspirasi dari gagasan Levi Ansher yang sekaligus sebuah rangkuman dari proses dialog dan diskusi kekaryaan yang akhirnya menghasilkan karya,” jelasnya ditemui di galeri Titik Temu, Rabu (15/6).
Diakui olehnya pada pameran kali ini, menggambarkan pembeda dan penunda yang mana tidak semuanya berbeda. Dia mengatakan dalam studi formal berbicara tentang seni banyak ragamnya. Serta keragaman seni itu muncul pada studi forml.
“Di sini kami mencoba mengungkapkan agar masyarakat bisa melupakan skeptisme institusional untuk menikmati karya seni,” pungkasnya. cakrawalamedia.co.id (nta)