News

Dua Film Dokumenter Diputar dalam Pekan Literasi Kebangsaan

200
×

Dua Film Dokumenter Diputar dalam Pekan Literasi Kebangsaan

Sebarkan artikel ini
Dua Film Dokumenter Diputar dalam Pekan Literasi Kebangsaan

BANDUNG, (CAMEON) – Dua film dokumenter hasil mahasiswa Kota Bandung diputar dalam acara Pekan Literasi Kebangsaan di hari kelima, Senin (5/12). Pada agenda pertama, juga diisi screening film dokumenter “Terlupakan” karya Sinatrian Lintang. Film ini menjadi juara di ajang International Short Movie and Photography Festival (ISMPF) yang diselenggarakan Telkom University, Bandung, Jumat 20 Oktober lalu.

International Short Movie and Photography Festival (ISMPF) merupakan ajang festival film pendek dan fotografi karya mahasiswa tingkat Asia Tenggara. Garin Nugroho dan Budi Irawanto, dua kritikus dan sineas senior Indonesia, menjadi juri di ajang ini.

Menurut Sinatrian Lintang salah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2012 yang juga aktivis Pembebasan Kolektif Kota Bandung, Film Terlupakan mengangkat fenomena sosial yang terjadi di Sidowayah, Desa Sidoarjo, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo. “Melalui film ini, digambarkan keadaan Dusun Sidowayah yang rata-rata penduduknya menyandang disabilitas,” jelasnya.

Dia mengungkapkan film yang digarap olehnya, mengangkat dua sudut pandang yang berbeda. Di mana kenyataan objektif di lapangan sangat berbeda dengan pendapat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo.

Pemerintah menganggap bahwa penanganan kasus untuk kaum difabel di Sidowayah sudah cukup baik. Akan tetapi kenyataannya sangat berbanding terbalik. “Kaum difabel di daerah tersebut hidup dalam keadaan sengsara,” singkatnya.

Sementara, film lain yang akan diputar di Pekan Literasi Kebangsaan adalah “Karatagan Ciremai”. Film ini disutradarai Adi Mulyana. Melalui filmnya, Adi mengangkat kehidupan seorang perempuan penganut Sunda Wiwitan yang merupakan agama minoritas di Jawa Barat.

Adi Mulyana selaku sutradara dan juga pembicara dalam acara tersebut mengungkapkan bagaimana keterbukaan Sunda Wiwitan sebagai agama asli Jawa Barat. Mereka mampu menerima agama lain masuk seperti Hindu, Islam, dan Katolik pada abad 13 sampai 17.

Mulyana mempertanyakan mengapa Sunda Wiwitan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari sebagian masyarakat maupun pemerintah dengan melibatkan institusi pendidikan dan keagamaan. Di situlah terjadinya intoleransi yang sangat masif yang dilakukan oleh negara.

“Begitu berkembangnya intoleransi di negara ini, dan negara sebagai pelindung rakyat membiarkan intoleransi itu berjalan,” kata Adi Mulyana. (Putri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *