JAKARTA, (CAMEON) – Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, terus bergulir. Polisi sudah menetapkan dua tersangka, yaitu Ahok dan Buni Yani, pengunggah video pernyataan Ahok saat di Kepulauan Seribu, akhir September 2016 lalu.
Namun, dalam penetapan tersangka terhadap kedua orang itu terdapat perlakuan berbeda. Proses yang ditempuh kepolisian tidak sama antara kepada Ahok dan Buni Yani. Kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian, menilai ada ketidakadilan dalam penetaran tersangka kepada kliennya itu, Rabu, 23 November 2016.
Menurutnya, Buni Yani baru sekali menjalani pemeriksaan sebagai saksi terlapor. Tiba-tiba penyidik menetapkan tersangka. Padahal, berita acara pemeriksaan (BAP) belum rampung. Pihaknya masih sedang merapikan BAP. Pengajuan saksi ahli bahasa pun belum dilakukan. Tapi polisi sudah gelar perkara, menetapkan tersangka, dan mengeluarkan surat penangkapan.
Tapi tidak demikian kepada Ahok. Penetapan tersangka pada Gubernur nonaktif DKI Jakarta itu menempuh proses panjang. Para saksi ahli didatangkan dari pelapor dan terlapor. Penyidik pun tampak sangat hati-hati dalam mengambil keputusan.
Buni Yani ditetapkan tersangka atas perbuatannya yang melanggar UU 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia dijerat Pasal 26 aya2 Jo Pasal 45 ayat 2. Ancamannya maksimal enam tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono, menyebutkan, penetapan tersangka terhadap Buni Yani lantaran postingan Buni di akun Facebooknya. Awi menilai, postingan itu provokatif.
Ia menegaskan, Buni ditetapkan tersangka bukan karena ia mengunggah video pernyataan Ahok, tapi karena isi postingan tersebut. Ada tiga kalimat yang dijadikan alasan untuk menjerat Buni Yani, yaitu “Penistaan terhadap agama?”, “Bapak-Ibu (pemilih muslim)..Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi.”, dan “Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurag baik dengan video ini”.
Menurut saksi ahli, kata Awi, kalimat-kalimat itu dapat menghasut dan mengajak masyarakat membenci seseorang karena mengandung SARA. (pey)