TASIKMALAYA (CM) – Gunung Galunggung yang berada di Kabupaten Tasikmalaya termasuk salah satu kelompok gunung berapi di Jawa Barat yang pernah erupsi (meletus) pada bulan Juli tahun 1822. Kemudian terjadi erupsi berikutnya yaitu di Tahun 1982-1983. Pada erupsi yang kedua ini sebaran abu vulkaniknya hampir menyelimuti seluruh kawasan Jawa Barat.
Sejarah erupsi dari Gunung Galunggung ini pun memberikan dampak positif yaitu debu vulkaniknya yang menyuburkan tanah dan limpahan pasir yang berkualitas tinggi yang tidak pernah habis.
Hingga saat ini eksploitasi dampak dari erupsi Gunung Galunggung masih berlanjut, khususnya pasir gunung. Ratusan truk pengangkut pasir berlalu lalang di area gunung dan bahkan wilayah Tasik Raya yang terkenal dengan TEN THOUSAND HILLS (red 10.000 bukit) kini sudah banyak yang rata dengan tanah. Dimana hal ini bisa berpotensi menyebabkan banjir dan bencana lainnya.
Dari segi wisata, area Gunung Galunggung pun banyak mengalami perubahan. Semenisasi dan pengaspalan tak dapat terhindar untuk memfasilitasi para wisatawan berkunjung ke area wisata Galunggung. Eksploitasi wisata kaki gunung galunggung juga sekarang sudah marak, terutama area hutan pinus dan curug. Hal ini menyebabkan penebangan pohon dan perubahan konstruksi tanah.
Perubahan-perubahan yang terjadi di area Gunung Galunggung membuat prihatin pegiat lingkungan, Fiona Callaghan M.Si. Dalam akun instagramnya, Fiona menulis, beberapa catatan tentang Gunung Galunggung yang dirangkum dalam “THE CHRONICLE OF GALUNGGUNG“.
Dikatakannya, Gunung Galunggung adalah tempat suci yang harus dijaga karena merupakan cikal bakal dari lahirnya Kabupaten dan Kota Tasikmalaya. Rasa bangga memiliki Galunggung tidak akan berarti tanpa ada updaya untuk merawat dan menjaganya.
“Gunung Galunggung ini adalah Kabuyutan yang merupakan tempat suci. Pada dahulu kala, telah berdiri Kebataraan dan Kerajaan Galunggung yang menjadi bagian sejarah penting Tasikmalaya dimana SUKAPURA memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah Nusantara. Kabupaten & Kota Tasikmalaya tidak akan ada tanpa Kedjayaan Sukapura,” tulisnya.
Ia berharap dengan catatan-catatanya ini, bisa menyadarkan masyarakat khususnya Tasikmalaya untuk lebih peduli kepada alam dan lingkungan Gunung Galunggung.
“Besar harapan saya adalah bagaimana masyarakat Tasikmalaya pada khususnya mulai sadar akan kepedulian lingkungan dan sejarah agar kita semua tidak mengalami krisis identitas diri,” harapnya. (Ind)





