Kolom

Gebyar Sastra Menggugah Kesusastraan Bandung

275
×

Gebyar Sastra Menggugah Kesusastraan Bandung

Sebarkan artikel ini
Gebyar Sastra Menggugah Kesusastraan Bandung

“Jiwa sastra itu milik semua orang, namun untuk menjadi penyair dan penggiat sastra itu
perlu kemauan”, pungkas Mat Don pengelola Majelis Sastra Bandung saat dialog sastra di Universitas Pendidikan Indonesia Senin kemarin (23/10/2017). Menurutnya seni sastra Bandung masih dalam masa hibernasi. Hal ini dibuktikan dengan lambatnya regenerasi penggiat sastra di Kota Bandung. Menyikapi hal tersebut sebenarnya memang sangat diperlukan diskusi dan dialektika tentang kesusastraan seperti acara ini, ucapnya.

Gebyar sastra sendiri merupakan program dari Forum Seni Bandung juga bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk ASAS (Arena Study dan Apresiasi Sastra) UPI salah satunya. Dilansir dari catatan ketua ASAS periode 2006/2007, yang menyebutkan bahwa budaya literasi dikalangan masyarakat kita cukup rendah sehingga berdampak pada pandangan masyarakat terhadap dunia sastra.

Turut hadir dalam gebyar sastra ini kelompok residensi sastra yang merupakan bagian dari
forum seni bandung yang bertugas mengetengahkan dan memperkenalkan sastra kepada masyarakat. Sebagian besar anggota residensi adalah mahasiswa aktif dari berbagai kampus seperti UPI, UNPAD, ITB, dan lainnya. “agenda kami untuk residensi sastra sendiri seperti belajar dan menyediakan pembelajaran sastra dan penulisan kepada anggota dan masyarakat yang beberapa diantaranya memang terbilang mahir dan telah memiliki pengetahuan seni yang mumpuni”, ungkap Kang Khoiri sebagai salah satu aktivis residensi sastra. Ia juga turut menyayangkan kurangnya peminat dan pendukung kemajuan sastra ditanah air. Banyak pemuda khususnya mahasiswa yang memiliki bakat menjadi sastrawan dalam menulis dan bersyair namun tidak tahu harus meluapkan bakatnya kemana. Akhirnya bakat tersebut hanya tertuang didalam sosial media mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa
dukungan dari pemerintah khususnya Kota Bandung baik secara moril maupun materil sangat
diperlukan. Hal yang sering terjadi adalah penyelenggaraan agenda-agenda sastra dari komunitas sastra bandung lagi-lagi terhalang dan terhambat masalah dana. Bahkan tidak sedikit dari beberapa komunitas tersebut menghimpun dana pribadi anggota sebagai solusi terpilih keberlangungan agenda sastra komunitas. Tentu saja, solusi terpilih tersebut belum merupakan solusi efektif untuk dijalankan. Fakta tersebut merupakan salah satu penghambat kemajuan sastra tanah air, kota bandung khususnya. Untuk itu harapan besar dari beberapa komunitas sastra bandung untuk pemerintah lebih memperhatikan dan memberikan dukungan kepada mereka. Kembali Mat Don mencetuskan keluhannya terkait hal ini, “logika tanpa logistik itu radikal” katanya sembari mengekspresikan senyum penuh harap di dalamnya.

Kota bandung sendiri sarat akan keindahan. Beberapa penulis dan penyair yang cukup
diperhitungkan keberadaannya di tanah air lahir di kota ini. Seperti ungkapan Pidi baiq yang ditulis di tembok terowongan ajaib persingahan segala waktu di arah jalan asia afrika “dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”. Lantunan tersebut mendeskripsikan besarnya potensi seni yang ada di Kota Bandung. Dan tulisan-tulisan Pidi baiq merupakan contoh dari sekian banyak potensi-potensi tersebut. Terlebih lagi, kehadiran Forum Seni Bandung dan Majelis Seni Bandung seperti mengisyaratkan bahwa sastra masih diperlukan di kota bandung. Kepedulian dan apresiasi masyarakatlah yang perlu dipertanyakan. Dibalik beberapa pertanyaan tersebut salah seorang peserta diskusi yang masih mengenakan seragam SMA memberikan satu pertanyaan yang dirasa cukup menggelitik untuk diibahas “bagaimana peran pendidikan khususnya perguruan tinggi yang menyediakan kuliah bahasa dan sastra terhadap perkembangan sastra di tanah air?”, pertanyaan bernada selidik itu dilontarkan dengan kepolosan sang siswa di dalam diskusi. Seharusnya mahasiswa yang telah diberi perkuliahan secara intensif mengenai bahasa dan sastra lebih mendominasi pergerakan dan perkembangan sastra di tanah air imbuhnya.

Partisipan diskusi sastra seperti siswa tersebut yang belakangan diketahui berasal dari SMA Negeri 1 Bandung bernama Rifaldi Rahmat dapat dijadikan acuan bagi ranah perkuliahan khususnya jurusan bahasa dan sastra untuk dapat lebih memotivasi dan melatih mahasiswanya menjadi ahli sastra atau sastrawan. Tidak hanya sebatas memberikan perkuliahan cara penulisan dan berbagai mata kuliahnya namun lebih lagi diharapkan dapat menulis dan mengembangkan sastra lebih mendalam. Jika pada setiap perguruan tinggi jurusan bahasa dan sastra telah memulai menerapkan hal tersebut maka perkembangan bahasa dan sastra di Indonesia tidak perlu dikhawatirkan.

Akhir dari diskusi sastra ini yakni betapa besar keinginan beberapa pihak yang mencintai
dunia sastra terlebih komunitas-komunitas untuk saling membantu dan turut andil dalam kemajuan sastra, khususnya Kota Bandung. Memang tidak mudah membangun keharmonisan tersebut namun keterkaitan antara komunitas, ranah pendidikan, serta sastrawan tanah air harus bersama dan bersinergi didalamnya. Harapan besar dari penikmat dan pecandu sastra sebagai partisipan diskusi sastra ini adalah pemerintah kota Bandung harus mendukung adanya kegiatan-kegiatan sastra “kalo pemerintah dapat mendukung acara-acara sastra seperti gebyar sastra ini, pasti bakal banyak kok kegiatan sastra kedepannya diadakan” ucap Kang Khoiri bernada harap tentunya dari perwakilan konsideran sastra Bandung dan mahasiswa tentunya dapat menjadi garda terdepan dan pasukan khusus perkembangan tersebut. Dalam hal ini perlu adanya koreksi lebih lanjut mengenai hal-hal yang menjadi indikasi kemajuan sastra. Beberapa diantara pendapat partisipan diskusi sastra ini memang lebih bersifat subjektif, didasarkan perspektif dan pengetahuan masing-masing. Sehingga kedepannya memang diperlukan banyak diselenggarakan diskusi serupa sehingga banyak menghasilkan pemikiran dan solusi menanggapi masalah-masalah terkait kesusastraan Indonesia khususnya Kota Bandung. “Jayalah sastra, jayalah Indonesia” cetus Mat Don mengakhiri diskusi sastra ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *