News

2 Tahun Jokowi-JK, Inilah Tuntutan Mahasiswa se-Indonesia

258
×

2 Tahun Jokowi-JK, Inilah Tuntutan Mahasiswa se-Indonesia

Sebarkan artikel ini
2 Tahun Jokowi-JK, Inilah Tuntutan Mahasiswa se-Indonesia
Ilustrasi (net)

BANDUNG, (CAMEON) – Momentum 2 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi-JK merupakan ajang untuk mengevaluasi, mengkontempelasi, menagih, mendesak, serta menuntut janji-janji pemerintah yang tertuang dalam visi misi serta cita-cita dan tujuan negara itu sendiri.

Demikian diserukan Aliansi BEM Seluruh Indonesia. Perhimpunan para aktivis ini menggelar aksi nasional di Jakarta, Kamis (20/10/2016).

Koordinator Lapangan Aksi Nasional BEM SI, Rizky Fajrianto mengatakan, aksi ini dilaksanakan oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Mahasiswa akan menuntut kepada Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memenuhi 5 tuntutan mahasiswa,” tegasnya, melalui rilis yang diterima CAMEON.

Pertama, agar menindak tegas mafia kasus kebakaran hutan dan lahan. Kedua, tolak reklamasi teluk Benoa dan teluk Jakarta.  Ketiga, tolak tax amnesty yang tidak pro rakyat.

Keempat, tolak perpanjangan izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017 dan komitmen terhadap usaha hilirisasi minerba. Dan kelima, cabut hukum kebiri, selesaikan akar permasalahan kejahatan seksual pada perempuan dan anak.

“Lima tuntutan ini sebagai bentuk konsistensi BEM Seluruh Indonesia untuk menjadi mitra kritis pemerintah sekaligus poros tengah yang menyambungkan lidah rakyat dan memberitakan kebenaran, tentang ekspektasi kebijakan dengan kenyataan di lapangan,” bebernya.

Dikatakan, berbagai survei menunjukan kepuasan terhadap kinerja, namun aneh bin ajaib, nyatanya hal itu tidak sesuai realita, rakyat masih belum sejahtera justru menjurus pada sengsara.

Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menyatakan, tahun 2016 ketimpangan sudah mencapai angka 0.41-0.45, dan jika sudah mencapai 0.5 sudah memasuki kesenjangan sosial yang berbahaya bagi kestabilan sebuah negara.

“Presiden tidak efektif mengelola negara karena kabinet tidak solid, kepentingan transaksional oligarkis lebih terlihat. Bahkan, nasionalisme meredup terbukti dengan dipertahankannya seseorang dengan indikasi dwi-kewarganegaraan di dalam kementerian,” jelasnya.

Mereka menilai, keberpihakan pemerintahan kepada asing seakan tak terbendung. Kemandirian ekonomi yang dicanangkan dalam nawacita hancur dengan afiliasi yang nampak selama 4 semester ini.

Selanjutnya, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan mencerminkan bagaimana penegakan hukum layaknya jaring laba-laba, hanya menjerat yang lemah dan runtuh terbelah pada yang kuat.

“Pemerintah lebih memihak kepada korporasi dibandingkan kepada asset hutan hujan tropis yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa ini,” tegasnya.

Tahun 2015, Jikalahari dan Eyes on The Forrest menginvestigasi 37 korporasi dan Polda Riau menetapkan 18 korporasi sebagai tersangka. Namun, tahun 2016 ini terbitlah Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) kepada 15 perusahaan yang telah menyumbangkan asap di Riau, menyebabkan 5 orang meninggal, dan ribuan orang menderita ISPA.

“Terlebih kejadian ini diperkuat dengan beredarnya foto kongkow oknum Polda Riau dengan para elit korporasi tersebut.”

Tidak berpihaknya pemerintah kepada rakyat kembali terlihat dari kasus mega proyek reklamasi, khususnya di Teluk Benoa Bali dan Teluk Jakarta.  Di Teluk Benoa, desain reklamasi sudah muncul sejak tahun 2007 dengan Tike Engineers and Architect asal Jerman sebagai pembuat desain.

Lahirnya Perpres no.51 tahun 2014 yang mengubah wilayah teluk Benoa yang sebelumnya masuk zona L3 (konservasi) menjadi zona P (penyangga), seolah menjadi dasar izin proyek ini. Hal yang sama terjadi pada reklamasi teluk Jakarta.

Konstitusi terakhir yaitu putusan PTUN nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT yang mengabulkan permohonan penundaan keputusan gubernur DKI Jakarta nomor 2238 tahun 2014 tentang perizinan reklamasi, khususnya di pulau G.

Keduanya memperlihatkan perjalanan proyek yang dipaksakan, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa izin ini diperuntukan pada kepentingan investor, bukan masyarakat umum.

Tidak berpihaknya pemerintah kepada rakyat kembali terlihat dari kebijakan instan yang inkonstitusional, yaitu pengampunan pajak.

Defisitnya anggaran karena kesalahan pengelolaan serta kecanduannya negara pada pambangunan direspon dengan kebijakan kolonialisme, dengan mengampuni pajak kepada orang berduit dan merampas pajak kepada rakyat pribumi.

“Walaupun periode pertama harta yang terkumpul sudah 95 T dari target 120 T, namun indicator keberhasilan bukanlah soal nominal.” cakrawalamedia.co.id (Ginan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *