News

Sistem Zonasi PPDB, Apakah Guru Sudah Berkarakter?

150
×

Sistem Zonasi PPDB, Apakah Guru Sudah Berkarakter?

Sebarkan artikel ini
Sistem Zonasi PPDB, Apakah Guru Sudah Berkarakter
Workshop In House Training SMK Nurusalam Salopa Kab Tasikmalaya

TASIKMALAYA (CM) – Meski sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru sudah diatur dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sejumlah sikap dan pernyataan yang dilontarkan oleh para penyelenggara pendidikan pun masih menjadi pro dan kontra.

Akibatnya, kebijakan ini bisa berpengaruh pada pembangunan karakter siswa dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada sisi pemerataan sekolah saja.

Hal tersebut diungkapkan oleh Yadi Ginawiyadi, Pengawas Pembina KCD 12 Disdik Provinsi Jawa Barat, saat ditemui Cakrawala Media, Senin ( 08/07 ) usai membuka Workshop In House Training di SMK Nurusalam Salopa Kabupaten Tasikmalaya.

Menurutnya, sistem zonasi bisa dikembangkan jika metode pembelajaran karakter sudah bisa teraplikasi dengan benar dalam dunia pendidikan. Justru yang terjadi akan ada fragmasi antara si miskin dan si kaya saat akan memasukan anaknya ke sekolah favorit.

“Nah, selama ini anak-anak yang punya nilai yang baik itu orang kaya, sesuai dengan akses pada fasilitas yang dimiliki. Maka ini yang membuat, kalau kita bicara soal pendidikan karakter, yang merusak karakter. Kalau kita merasa lebih bangga karena masuk sekolah favorit, nah yang di bawah-bawahnya merasa tidak sama,” jelasnya.

Ditambahkan Yadi, sistem zonasi akan berhasil jika profesionalisme guru di sekolah-sekolah yang favorit maupun non favorit harus lebih ditingkatkan. Jangan sampai kemampuan atau skill guru justru malah di bawah standar, sementara anak-anak sangat mengharapkan ilmu yang memiliki standar kualifikasi saat mereka mendapatkan pengajaran.

“Ya, tentu ini sudah menjadi sebuah kebijakan pemerintah, tapi saya berharap kemampuan profesionalisme guru lebih ditingkatkan, jika kita tak ingin nanti output nya di bawah standar kualifikasi kelulusan, maka konsekwensinya sekolah tersebut akan dicibir,” tambahnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Pengamat Pendidikan Budi Trikoryatnto seperti yang dilansir oleh tirto (13/07) yang menganggap sistem zonasi tidak sepenuhnya menutup celah ketimpangan dalam dunia pendidikan.

“Karena sistem zonasi, orangtua akan memasukkan anaknya ke sekolah yang paling dekat. Di situ, akhirnya ada persaingan yang lebih sengit. Permasalahan utama adalah anak kurang pintar tidak akan bisa masuk sekolah yang terbaik dan harus menempuh pendidikan di sekolah gurem,” terang Budi.

Kompas.com juga mengutip Ombudsman RI, di mana sistem PPDB menemukan fakta ketimpangan itu. Misalnya, ada empat sekolah favorit yang lokasinya berada dalam satu kelurahan di salah satu pusat kota di negeri ini.

“Sedangkan yang di pinggiran tidak terfasilitasi. Ini yang harus dipindahkan ke pinggiran. Membuat sekolah yang bagus di sana dengan sistem zonasi,” kata Suaedy.

Ketimpangan semacam itu, kata Suaedy, tidak lain diakibatkan karena sekolah-sekolah yang dianggap favorit tersebut leluasa memilih calon siswa dengan nilai yang paling tinggi. Mereka sangat mungkin mengatrol nilai akreditasi sekolah karena akreditasi memang salah satunya mengacu kepada komponen prestasi siswa.

sumber lain : Tirto dan Kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *