TASIKMALAYA (CM) – Seakan tak henti banjir kecaman atas puisinya yang nyeleneh dan menyudutkan agama islam, Sukmawati Soekarno Putri yang menyatakan dirinya seorang budayawan ini menjadi target umat islam, dari mulai masyarakat menengah hingga budayawanpun angkat bicara.
salah satunya Bode Riswandi Budayawan senior Tasikmalaya yang juga seorang dosen di Universitas Siliwangi ini menyayangkan puisi yang dilantunkan Sukmawati ini, dihubungi melalui telepon selulernya pemilik sebuah puisi nasionalis berjudul DALAM CERMIN WAJAHKU TAK SEPERTI INDONESIA ini justru malah melihat bahwa bahasa yang dipakai oleh Sukmawati bukanlah bahasa puisi, namun bahasa pribadi yang dipaksakan menjadi bahasa puisi.
“Secara teks, puisi itu ditulis Sukmawati bertema nasionalis dipandang dalam sudut paradoks dan satiris, namun setelah saya dengarkan berulang-berulang sambil membaca teksnya, puisi tersebut dalam konteks diksi dan bentuk pengucapan ihwal peristiwa, masih belum baik,” ujarnya.
Yang sangat menohok menurut anggota “Teater 28 Tasikmalaya” dan juga pendiri “Budaya Beranda 57” ini justru ada sebuah penggalan kalimat yang Alih-alih menulis dengan substansi puisi nasionalis dari sudut pandang paradoks-satire, namun ia sendiri terjebak dalam paradoks yang dibuatnya.
“Bahasa-bahasa yang digunakan belum tanak. Tetapi jauh dari sekedar pendekatan kepada teks semata, hal yang paling membuat saya pribadi tepuk jidat ialah larik,” yang kutahu suara kidung ibu indonesia sangatlah elok/ lebih merdu dari alunan adzanmu//” membuat puisi ini menjadi gagal paham,” ungkapnya.
Bode menilai wajar jika reaksi umat islam akan besar mengingat nuansa puisi ini jelas bernada SARA, karena sejatinya seorang budayawan juga harus bisa melihat kearah mana tulisan atau puisi mereka dibuat, jika bersinggungan dengan keyakinan ini akan menjadi fenomena gunung es dan jelas akan mematikan karya seni ditengah kebhinekaan kita. masih banyak para budayawan sekelas WS. Rendra, Taufiq ismail bahkan Wiji Tukul yang harus rela mengorbankan jiwanya demi sebuah kebenaran yang hakiki tapi tidak melupakan Tuhanya
“Ada baiknya, kita baca puisi Sebatang Lisog (W.S. Rendra), Aku Masih Hidup Dan Kata-kata Belum Binasa (Wiji Tukul), Kita Pemilik Sah Republik Ini (Taufik Ismail), Dongeng Dari Negeri Sembako (Acep Zamzam Noor), puisi-puisi nasionalis yang paradoks-satire mereka itu, cerdas bermain metafor dan citraan-citraan peristiwa, namun mereka tetap meyakini Tuhanya,” pungkasnya. (Zz)