BANDUNG BARAT (CM) – Debby Ahmad Bustomi, pria asal Desa Mekarwangi Kecamatan Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat (KBB), sudah hampir 26 tahun bergelut dengan madu. Semenjak lulus Sekolah Menengah Atas tahun 1992, dirinya mengikuti jejak Alm. ayahnya yang sejak dulu menggeluti permaduan.
Madu salah satu yang dihasilkan oleh lebah dan bunga. Madu dipercaya memiliki banyak khasiat bagi kesehatan. Karena itu, madu sudah sejak lama dianggap sebagai salah satu obat berbagai macam penyakit.
Pollan D-bee’s merupakan hasil kerja keras yang tak hanya untuk sekedar bisnis, namun lebih ke memelihara kolini lebah yang saat ini dinilai langka.
Pollan D-bee’s dihasilkan dari lebah jenis “apis cerana” atau lebah madu timur yang membuat sarang dari malam, yang dihasilkan oleh para lebah pekerja di koloni lebah madu. Pria yang mendapat penghargaan sebagai pemuda teladan berpreatasi tingkat Jabar itu mengatakan, untuk mendapatkan madu dirinya memanfaatkan hutan hutan di daerah sekitar daerahnya.
“Pemasarannya tergantung dari alam. Karna sistem beternak di hutan beda dengan beternak lebah yang sudah profesional,” katanya saat dihubungi via telepon, Rabu (24/10/2018). Budi daya madu miliknya sangat berbeda, karena mereka (profesional) beternak lebah dengan sistem gembala dari perkebunan rambutan, lengkeng dan randu. Mereka berkeliling sehingga produksinya juga continue.
“Sedangkan saya beternak dengan cara menetap di hutan. Jadi kalau lagi musim bunga kita punya madu, tapi jika bunganya sudah habis di lokasi saya, yaitu lah masa-masa krisis sebagai peternak sehingga kita hunting keluar untuk mencari madu apis yang dikenal dengan madu odeng,” sahutnya
Lebih lanjut Debby menjelaskan, ada beberapa agen yang memasarkan produknya termasuk Mabes TNI merupakan salah satu pelanggannya. “Agen dari beberapa kota ada juga yang langsung datang mengambil ke sini. Di samping itu, kita menjualnya secara online,” kata dia
Debby menyebut produknya sangat mengandalkan alam untuk memproduksi madu. Jadi, dalam setahun paling bisa memproduksi 200 sampai 300 kilogram. “Kalau dulu sebelum hutannya rusak, di desa saya ini dapat menghasilkan sampai 1 ton. Sekarang penurunannya drastis, jadi 6 bulan ada dan 6 bulan lagi kosong,” tandasnya. (Agus)