JOMBANG (CM) – Sidang lanjutan hari ke empat gugatan Praperadilan dengan pemohon Moch Subchi Azal Tsani (MSA) terhadap keabsahan penetapan tersangka yang dituduhkan kepadanya berlangsung pada Selasa (25/1/2022) di Pengadilan Negeri (PN) Jombang.
Sidang menghadirkan dua keterangan saksi ahli dari pemohon, yaitu masing-masing Dr King Faisal Sulaiman sebagai saksi ahli hukum tata Negara dan Dr Suparji, yang merupakan Dosen di Universitas Al Ahzar Jakarta.
Dalam keterangannya, Dr King Faisal Sulaiman mengatakan, penetapan tersangka terhadap MSAT dilakukan tanpa di dahului adanya proses pemeriksaan dan penyelidikan terhadap yang bersangkutan (MSAT). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP), surat perintah penyidikan, dan surat penetapan tersangka dilakukan pada hari dan tanggal yang sama.
BACA : Klarifikasi dan Pernyataan Sikap DPP ORSHID Terhadap Tuduhan Pelecehan yang Dilakukan MSAT
Dr King Faisal yang juga Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap MSA dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini, cacat hukum. Karena penetapan tersangka itu tidak diawali dengan pemanggilan yang bersangkutan, dalam kapasitas sebagai saksi terlapor atau calon tersangka.
“Intinya, sebelum dia (MSA) , mestinya diperiksa dulu, tidak serta merta langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dan itu dijamin oleh konstitusi kita,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini merugikan kepentingan hukum dari tersangka, mengabaikan prinsip KUHAP yang melindungi hak asasi tersangka juga. Bisa diartikan, ini cacat secara prosedur normatif dalam proses penyidikan.
“Dari apa yang saya lihat dari alasan pemohon dalam praperadilan ini, tampaknya tersangka ini kan sama sekali tidak dimintai keterangan sejak awal. Dan agak aneh, kalau kemudian dalam satu hari, tanggal dan tahun yang sama, keluar tiga surat secara bersamaan yakni SPDP, surat perintah penyidikan, dan surat penetapan tersangka,” ujarnya.
Sementara itu Dr Suparji mengatakan, jika tidak ditemukan adanya bekas kekerasan atau sperma MSAT sebagai bukti kongkrit pelaku, hal itu akan menjadi abu-abu, sehingga kualitas alat bukti ini bisa dipertanyakan. Hal ini Ia sampaikan terkait bukti visum yang dilakukan pada tahun 2019, sedangkan kejadian yang disangkakan pada tahun 2017.
“Tentunya sudah banyak perubhan, seharusnya hasil visum di lakukan tidak terlalu lama dengan waktu kejadian agar tidak merugikan pemohon (MSAT)” jelasnya.
Dr Suparji berharap, aparat hukum bisa bekerja dengan adil sesuai bukti yang ada. Artinya tidak memaksakan apabila bukti-bukti yang diajukan tidak begitu kuat apalagi dipaksakan.
“Biarkanlah proses hukum ini berjalan sebagaimana mestinya untuk menghormati hak azasi manusia. Saya melihat alat bukti yang disertakan untuk menetapkannya sebagai tersangka kurang kuat dan tidak cukup, para saksi yang dihadirkan tidak memenuhi syarat sebagai saksi, juga alat bukti berupa hasil visum yang diproses dengan tidak benar. Akan tetapi kasus ini masih terus dipaksakan untuk lanjut, saya menduga ini ada ABUSE OF POWER” pungkasnya. **