JAKARTA (CAMEON) – Kasus pernikahan anak di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) angka perkawinan usia anak atau di bawah 18 tahun di Indonesia sekitar 23 persen.
Laporan perdana tersebut juga mengungkap Indonesia mengalami penurunan angka pernikahan anak yang cenderung stagnan. Analisis yang dilakukan pada 2015 itu mengungkap bahwa perempuan yang menikah sebelum 18 tahun hanya menurun tujuh persen dalam waktu tujuh tahun.
BPS juga mencatat bahwa angka kejadian atau prevalensi pernikahan anak lebih banyak terjadi di pedesaan dengan angka 27,11 persen, dibandingkan di perkotaan yang berada pada 17,09 persen.
Kasus terakhir yang terjadi di Bengkulu, yaitu seorang anak laki-laki berusia 16 tahun yang menikahi nenek berusia 71. Menurut komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat, Ai Maryati, penikahan tersebut jelas melanggar Undang-undang perlindungan anak.
“Untuk kasus tersebut harus ada yang melaporkan kepada polisi. Bisa masyarakat melaporkan, semisal tetangganya. Jika tidak ada yang melaporkan, kasus tersebut tidak akan ditangani,” kata Ai Maryati ditemui di kantornya, Selasa (29/8/2017).
Dia menjelaskan, terjadinya pernikahan banyak faktor yang terjadi. Misalnya, karena hutang orangtua dan lainnya.
Diakui olehnya, dalam kasus pernikahan anak yang menjadi korban adalah anak. Orangtua dan pemangku adat bisa jadi tersangka dalam kasus tersebut.
Dia menekan, harus ada efek jera bagi kasus tersebut. “Ada hukuman bagi yang menyelenggarakan. Hal itu akan terlihat dari penyelidikan yang ada di polisi,” pungkasnya. (Putri)