News

KOPRI PB PMII Ajak Organisasi Perempuan Cipayung Dorong Pengesahan RUU Kekerasan Seksual

208
×

KOPRI PB PMII Ajak Organisasi Perempuan Cipayung Dorong Pengesahan RUU Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
KOPRI PB PMII Ajak Organisasi Perempuan Cipayung Dorong Pengesahan RUU Kekerasan Seksual

JAKARTA (CAMEON) – Organisasi Perempuan Cipayung mendorong mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan Seksual. Hal itu sebagai salah satu cara untuk menghapuskan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diinisiasi oleh Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI) PB PMII menggelar Forum Group Discussion (FGD). Kegiatan tersebut dihadiri oleh OKP Perempuan GMKI, KOHATI, IMMAWATI dan LMND. Serta hadir juga, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh.

Ketua KOPRI PB PMII, Septi Rahmawati mengatakan, pada moment Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini, mengajak perempuan dari OKP Cipayung plus untuk duduk barsama membicarakan problem-problem perempuan serta mempererat tali silatuhrahim antar organisasi yang pro terhadap hak-hak perempuan.

“Dimana Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tidak hanya berlangsung pada hari ini saja, tetapi dimulai dari tanggal 25 November hingga 10 Desember,” ucap Septi Rahmawati usai acara di Sekretariat PB PMII, Sabtu Malam (25/11/2017).

Dia juga mengartikan, selama 16 hari harus tetap semangat dalam melakukan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, semangat aksi juga bisa dilakukan terus menerus hingga tidak ada lagi hak-hak perempuan terlebih akibat sebuah kekerasan.

Ajakan ini pun disambut baik oleh IMMAWATI, Qomariah. Dia mengatakan perempuan memang merupakan simbol bangsa. ”Sebelum Islam datang, posisi perempuan sangatlah rendah,” ungkapnya.

”Dan ketika Islam datang posisi dan derajat perempuan mulai terangkat dan mulai diperhatikan,” imbuhnya.

Di tempat yang sama, Delegasi KOHATI Mutya menjelaskan, untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan memang dibutuhkan sebuah dorongan yang besar dari organisasi kemahasiswaan perempuan. ”Selain itu, kekerasan terhadap perempuan diakibatkan oleh adanya kemiskinan dan rendahnya pendidikan,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan dialami dari berbagai level. Baik miskin, kaya, kelas menengah seorang perempuan dapat menjadi korban kekerasan. Dalam kesempatan tersebut, dia menceritakan kekerasan terhadap perempuan secara serius muncul pada tahun 1998 menjelang tumbangnya rezim Presiden Soeharto.

”Salah satu yang paling parah adalah kekerasan seksual terhadap perempuan etnis tionghoa, disertai dengan pembunuhan yang diakui sekitar 87-90 perempuan yang mengalami kekerasan,” terangnya.

Namun, lanjutnya, pelaku dalam kasus ini menolak untuk dibawa ke pengadilan dan menganggap berita tersebut adalah hoax. “Maka dari itu, sebagai organisasi keperempuanan harus melakukan upaya-upaya anti kekerasan terhadap perempuan serta memajukan hak asasi perempuan,” ujarnya.

Pihaknya juga membeberkan selama 5 tahun terakhir ini terdapat beberapa kasus yang mengakibatkan perempuan mengalami kekerasan yang sangat tinggi. Kekerasan tersebut diantaranya, KDRT, Kekerasan Seksual, Kekerasan dalam pacaran, kekerasan yang dilakukan dosen dan kekerasan terhadap junior.

Namun, para korban kekerasan ini tidak melakukan tindakkan. Sehingga, sering kali korban malah terdiam. Padahal, korban telah mendapat kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelataran ekonomi.

”Pelaku kekerasan terhadap perempuan 75% adalah orang yang terdekat dan dikenal. Serta, perempuan disabilitas dan buruh migran adalah perempuan yang sangat rentan terhadap kekerasan perempuan,” ungkapnya.

Negara pun juga melakukan kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan yang hidup didaerah konflik, tes keperawanan terhadap untuk tes ujian masuk polisi perempuan. Maka dari itu, sebagai organisasi kepermpuan kita memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Terlebih, ia menambahkan keberadaan strategis organisasi perempuan dalam tingkat kemahasiswaan yang dapat memudahkan memberikan advokasi kepada khalayak ramai. ”Hal itu sebagai cara untuk menumbuhkan kesadaran terhadap anti kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya. (Nita NP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *