KOTA TASIKMALAYA (CM) – Siapa yang tidak kenal dengan jenis burung yang satu ini. Iya, Sanarinus Canaria yang konon pertama kali ditemukan pelaut Perancis bernama Jean de Berthan Cout, pada sekitar abad ke 15, tak pernah mati menjadi magnet bagi para kicau mania.
Jika dulu Jean menemukannya di kawasan kepulauan Canary bagian timur laut Afrika, lalu tersebar dan terkenal di kawasan Amerika, Australia, Afrika, dan Asia. Dan kini, burung penyanyi yang sangat banyak penggemarnya itu hadir membahana menggema di Tasikmalaya.
Sejak pagi, nyanyian burung-burung ini bersahutan. Aneka warna dan nada, semuanya saling berirama meski tanpa tampuk konduktor orchestra.
Di sudut lain, para pemilik kenari ini saling bercengkrama. Membentuk banyak kelompok kecil saling mengobrol, berbagi kabar, tips hingga transaksi bisnis yang berhubungan dengan dunia perkicauan.
Inilah komunitas Cenary Tasikmalaya, yang sukses menggelar event tingkat nasional di salah satu Hotel Jalan Ir.Djuanda Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya, Ahad (17/03/2019). Sejak pagi, hajat ini mampu menyedot ratusan kenari mania terbaik dari seantero negeri.
Ketua pelaksana Pertandingan Cenary, Trido Kurniawan (30) mengatakan, dilaksanakannya pertandingan burung kenari tingkat nasional ini, selain mencari bakat dan juara, juga untuk mempererat tali silaturahmi bersama seluruh peserta burung kenari yang ada di Indonesia.
“Pertandingan ini benar benar ril, tidak ada istilah kongkalikong. Antara juri dengan peserta, tidak ada intimidasi dari peserta, karena tim juri yang menilainya sangat profesional,” ungkap Trido, saat dijumpai CM, disela kegiatan.
Trido terlihat semangat penuh kegembiraan. Ia memaparkan tentang sportivitas perlombaan, sekaligus bagaimana konsep event ini yang objektif. “Di sini yang diadu itu benar-benar kualitas burung dari empat kriteria, mulai folume, durasi kerja, panjang lagu, dan penampilan fisik yang mumpuni,” terangnya.
Ia menjelaskan, acara ini banyak manfaatnya. Para pencinta burung kenari, kata dia, akan mendapatkan limpahan berkah.
Pertama, ujar dia, mengenai skil burung. Dikala sedang bertanding di dalam area gantangan 12 seperti sekarang ini, para burung yang bertanding akan termotivasi memberikan performa terbaik. “Burung akan menampilkan enerjik yang maksimal,” katanya.
Kedua, dilihat dari segi keuntungan materi. Nah, di dalam pertandingan ini ketika berjalan dengan kontinyu maka dapat dipastikan akan menjadi sebuah peluang bisnis menggiurkan.
“Mulai penjualan sangkar, pakan, askesoris burung kenari lainnya, termasuk burung kenari yang telah masuk juara, itu bisa menjadi nilai ekonomi yang sangat tinggi. Nilainya hingga ratusan juta rupiah,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa pertandingan kenari seperti hajat yang digelarnya itu sebenarnya pada akhirnya tujuan dan keuntungan bukanlah prioritas utama.
Karena jika hanya berorentasi pada hadiah, sesungguhnya itu tidak seberapa. Dia berujar, dengan kepuasan si penghobi burung kenari yang dipertandingkan malah bisa memiliki nilai jual yang sangat tinggi.
“Apalagi kalau pernah menjuarai event kolosan, konpensional di lapangan besar terbuka termasuk juara di dalam ruangan dengan ukurang 12 gantangan seperti sekarang ini. Dapat dipastikan harga burung itu bisa mencapai harga tertinggi 150 juta rupiah,” bebernya.
Di tempat sama, Koordinator Lapangan Dany Purnama (31) mengatakan, acara ini menghadirkan 750 peserta Cenary. Semuanya dibagi menjadi 63 pagelaran.
Peserta didatangkan dari berbagai wilayah mulai Kota/Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Banjar, Pangandara, Tangerang, Serang, dan Banten, Jakarta, Bekasi, Cikarang, Karawang, Purwakarta, Bandung, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Majenang, Cilacap, dan lainnya.
“Dari total 750 peserta yang ikut dipertandingkan, hampir didominasi oleh pemain pemain kapakan yang jejak rekamnya sudah mengikuti di even tingkat nasional gantangan 12 sistem penilaian poin paburi atau pagelaran konvensional,” bebernya.
Dany memaparkan detail. Untuk kelas cenary ini ada 9 kelas, mulai standar kecil parahiangan kelas 60, standar umum parahiangan kelas 60 meliputi seri F, standar kecil sukapura kelas 100 dan standar sukapura kelas 100.
Berikutnya, ada standar kecil galunggung kelas 80, standar umum galunggung kelas 80, standar resik kecil kelas 40, standar umum resik kelas 40 dan setandar besar galunggung kelas 80 yang melikupi ukuran standar besar dari silangan F3 sampai dengan Yorkshire.
Sementara itu, perwakilan tim juri yang sekaligus menjabat Koordinator Lapangan Paguyuban Penggemar Burung Cenary (Paburi), Yusuf Fauzi mengatakan, burung kenari yang masuk pada katagori penilaian pertandingan melingkupi 4 kategori. Yaitu volume, panjang lagu, kerajinan dan penampilan.
“Penampilan gaya goyangan itu cuman istilah dasar burung. Tetapi biar burung lebih istimewa didalam penilaiannya itu harus ditunjang dengan segi fisik yang cukup, meliputi empat katagori penilaian itu, artinya harus saling menunjang, paling tidak bisa mengurangi di gaya nilai 6’8 atau menjadi 6,5, itu kalau mengambilnya di katagori Paburi Cilacap,” terang Fauzi.
Ia memaparkan, jika kelas konvesional panjang lagu itu nge-reff, artinya ada penurunan. Ini berbeda pandangan. Karena jika melihat dalam kategori Paburi Cilacap misalnya, tidak ada istilah seperti nge-reff, tetapi penilaiannya sistem poin yang mengacu pada empat kriteria itu.
“Sebagai tolok ukur di kelas Cenary standar untuk masuk pada penilaian di Cilacap nilai 26,50 atau 26 minim 30. Itu in sya Allah memasuki final, tetapi kalau di angka 25,55 ke bawah itu harus balik ke kandang lagi. Yang jelas intinya yang akan menunjang itu memenuhi unsur empat kriteria,” bebernya.
Dalam kesempatan itu, Fauzi memberikan sedikit bocoran bagi para pecinta kenari dimanapun berada. Resep dari dia, agar burung kenarinya bisa masuk semi final bahkan bisa menorehkan hasil juara umum, caranya adalah konsisten mengikuti event dan disiplin dalam perawatan.
“Seringkali ada perubahan turun naik, sekarang masuk di semi final, kadang dipertandingan berikutnya berubah tidak masuk final. Yang jelas untuk mempertahankan kualitas burung harus dikembalikan ke perawatan yang intens,” pungkasnya. (Edi Mulyana)





