KOTA BANDUNG (CM) – Kementerian Perindustrian RI dan IKA Politeknik STTT Bandung menggelar Focus Group Discussionmengenai UMK Industri Tekstil, Jumat (06/12/2019). Diskusi menghadirkan beberapa tokoh dari beberapa bidang sebagai narasumber antara lain Bu Elis selaku Sub Direktorat Industri Tekstil dari Kementrian Perindustrian RI, Kang Rikrik sebagai Ketua IKA ALUMNI ITT-STTT, Ristadi sebagai Ketua FKSPN (Forum Komunikasi Serikat Pekerja Nasional) dan Kang Wahyu perwakilan dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia).
Dalam acara tersebut dibahas tentang kondisi industri tekstil di Indonesia yang sedang mengalami degradasi dan berpengaruh besar terhadap ketenagakerjaan di Indonesia, di karenakan memakai banyak tenaga kerja di Indonesia.
Elis menyatakan, degradasi Industri tekstil disebabkan oleh minimnya upaya peningkatan daya saing industry di sektor energi, SDM, logistik, perbankan, perpajakan, teknologidan lain sebagainya sehingga daya saing produk TPT Indonesia cenderung stagnan padahal Negara pesaing meningkat.
Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekspor yang mengalami stagnasi jauh tertinggal dari India, Vietnam, dan lainnya. Ia menyebut ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu biaya energi yang tidak bersaing menjadi beban bagi seluruh rantai industry dari hulu ke hilir, biaya tenaga kerja menjadi relatif tinggi karena tingkat produktifitas yang masih rendah, sistem PPN hulu hilir mendorong eksportir menggunakan bahan baku impor. Jika menggunakan bahan baku lokal, restitusinya 6 bulan sampai 1 tahun.
“Kemudian, kebijakan perdagangan yang membuka impor untuk API-U dan rentan penyalahgunaan API-P mendorong banjir impor. “ kata Elis, di Ibis Hotel Bandung , Jl Gatot Subroto No. 289, Kota Bandung, Jumat (06/12/2019).
Sementara itu, Ketua IKA ALUMNI ITT-STTT, Rikrik Supriyadi, memaparkan bahwa kondisi industri TPT saat ini turut dipengaruhi banyaknya produk impor yang beredar dengan harga murah, sehingga permintaan terhadap produsen lokal menurun. Langkah PHK diambil lantaran perusahaan berupaya bertahan dengan cara menurunkan produksi.
“Saat ini banyak perusahaan mendapat tingkat utilisasi di kisaran 30- 40%. Penyebabnya selain barang murah dari China, juga ada kebijakan menutup Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi industri yang dianggap mencemari sebagai bagian dari program Sungai Citarum Harum. Bahkan beberapa sudah ada yang stop produksi seluruhnya, terutama IKM,” ungkapnya.
Menanggapi permasalahan tersebut, Menteri Luar Negeri BEM KM-Politeknik STTT Bandung, Andri Kurniawan, menegaskan, sebagai mahasiswa yang dipersiapkan di bidang terkait sudah seharusnya responsive akan isu-isu yang beredar, karena dapat berdampak terhadap masa depan industri tekstil Indonesia, dan diharapkan pemerintah mampu melakukan pengawasan ketat terhadap importir-importir yang menyalahgunakan kebijakan dan diperlukan adanya konvergensi akan semua bidang terkait sehingga mampu menghadapi tantangan di era Industri 4.0. (Tim)