News

Keluarga Besar Ponpes Miftahul Huda Berduka

702
×

Keluarga Besar Ponpes Miftahul Huda Berduka

Sebarkan artikel ini

TASIKMALAYA (CM) – Keluarga besar Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, kehilangan salah satu dewan kyai, yakni KH. Jaja Abdul Jabbar. Beliau meninggal dunia di kediamannya pada Selasa (10/12/2019), sekitar pukul 02.20 WIB.

Sejak pukul 09.00 WIB, ribuan santri dan para pelayat turut mengantar pemakaman almarhum yang dimakamkan di dalam area pesantren. KH. Jaja wafat di usia 61 tahun. Ia lahir pada 8 Agustus 1958. Beliau meninggalkan seorang istri, tujuh anak dan satu putra angkat.

Ketujuh anaknya itu adalah KH. Hahmi Zamzam Zawahiril Huda, KH. Dikri Abdul Latif, KH. Rafri Musyafa, H. Sidqi, H. Kahfi, Fakhri, Nayla dan putra angkatnya, Rizki.

Ketua Umum Himpunan Alumni Miftahul Huda (Hamida) Indonesia, KH. Dudung Abdullah Faqih, mengatakan, kondisi kesehatan almarhum yang sudah dianggap dia seperti ayahnya sendiri sejak 2 bulan ini menurun drastis.

“Almarhum menderita penyakit jantung koroner dari tahun 2002. Mestinya di ring, tapi beliau enggan melakukan itu. Sudah 2 bulan ini ngedrop,” terangnya. Bahkan, lanjut KH. Dudung, sejak tahun 2002, dari tiga saluran jantung almarhum yang berfungsi hanya satu.

“Dan fungsi saluran jantung yang hanya satu itu kata dokter hanya sekitar 15 persen. Tapi almarhum sangat kuat. Enam  dokter yang pernah memeriksa kesehatan beliau mengakui, almarhum sangat kuat,” ungkapnya.

Tak hanya itu, KH. Jaja sendiri selama 17 tahun berkiprah di Hamida. Beliau menjabat sebagai Ketua Umum Hamida setelah beberapa bulan lalu karena kondisi kesehatannya menurun, maka tongkat komando pimpinan Hamida berpindah kepada KH. Dudung. “Kami keluarga besar Hamida sangat kehilangan sosok beliau,” sebut ia.

“Yang pasti hari ini Hamida kembali berduka atas wafatnya salah satu dewan kyai dan guru besar yang menjadi sembilan pilar di Pondok Pesantren Miftahul Huda. KH. Jaja Abdul Jabbar ini adalah paman kami yang biasa berbagi suka dan duka bersama sebagai sosok seorang ayah. Tetapi beliau juga sosok guru besar yang memang penuh dengan suri tauladan,” bebernya.

Menurutnya, sosok almarhum bukan sekedar guru besar biasa. “Beliau juga adalah komandan dalam satu gerbong besar dalam wadah Hamida. Kurang lebih 17 tahun beliau mengemban tugas sebagai ketua umum Hamida, dan baru beberapa bulan ini beliau istirahat dari jabatannya dilimpahkan kepada saya,” tambah KH. Dudung.

Ia juga menjelaskan bahwa kurang lebih selama seratus hari sampai hari ini dirinya terus menelusuri yang telah ditanam oleh almarhum. “Dari mulai titik nol Medan, Sabang, sampai ke setengah pulang Jawa Tengah. Kita hanya ingin melihat, tanaman apa saja yang telah ditanamkan oleh almarhum. Peribahasa mengatakan, lautan itu dalam tetapi setelah kita tenggelam dan karam di lautan tersebut kita semakin yakin bahwa lautan itu benar-benar dalam,” paparnya.

“Tapi setelah saya berkeliling menelusuri tanaman beliau, saya yakin bahwa beliau orang yang sukses dan hebat untuk membuat sebuah jaringan yang sangat luar biasa. Jadi, minimal pada hari ini kita kehilangan tiga sosok penting dalam kehidupan secara kelembagaan kepesantrenan, ataupun dalam tatanan organisasi masalah jaringan, ataupun dalam konteks keguruan. Hari ini kita kehilangan guru besar, hari ini kita kehilangan komandan besar, dan hari ini kita kehilangan sosok ayah serta bapak yang baik,” pungkasnya. (Anto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *